Jilid 12 bag 3

113 5 2
                                    

GAGAKSETA-2

MELESTARIKAN CERITA SILAT INDONESIA

STSD-12

Bagian 3

“Gila! Gila! Gila!” hampir bersamaan kedua orang itu menggeram keras. Dendam kesumat terhadap Perdikan Matesih pun telah tertimbun setinggi gunung.

“Soma!” Berkata Eyang Guru kemudian dengan suara menggelegar, “Sekarang antarkan kami ke tempat sisa-sisa murid Perguruan Sapta Dhahana bersembunyi. Akan kita susun kembali kekuatan kita. Kita harus membalas dendam kepada perdikan Matesih. Kita tunggu pasukan dari perguruan Setra Gandamayit untuk bergabung dengan kita. Setelah itu kita luluh-lantakkan perdikan Matesih menjadi karang abang!”

Raden Wirasena menarik nafas dalam-dalam mendengar kata-kata Eyang Guru. Sementara cantrik Soma hatinya telah mekar kembali. Semangatnya pun telah tumbuh kembali untuk ikut membalas dendam kepada orang-orang perdikan Matesih.

“Eyang guru,” berkata Raden Wirasena kemudian setelah Eyang Guru menyelesaikan kalimatnya, “Sebaiknya kita segera mengirim utusan ke padepokan Setra Gandamayit agar mereka tidak menuju ke Padepokan Sapta Dhahana, akan tetapi berkumpul di tempat yang akan kita tentukan kemudian.”

“Baiklah,” sahut Eyang Guru dengan serta merta, “Sekarang yang terpenting adalah menjumpai anak murid perguruan Sapta Dhahana yang telah tercerai berai. Kita bangkitkan kembali semangat perjuangan mereka untuk membalas dendam kepada perdikan Matesih.”

Hampir bersamaan Raden Wirasena dan cantrik Soma mengangguk-angguk.

“Marilah, kita sudah banyak kehilangan waktu,” berkata Eyang Guru kemudian sambil melangkah. Kemudian kepada cantrik Soma dia berkata, “Berjalanlah di depan. Setelah keluar dari hutan ini kita akan mencari kuda agar perjalanan kita semakin cepat.”

Kembali Raden Wirasena dan cantrik Soma mengangguk-angguk. Dengan berkuda mereka berharap sebelum Matahari sepenggalah mereka telah sampai di tempat tujuan.

Sambil berjalan menyusuri hutan yang tidak seberapa lebat itu, cantrik Soma pun kembali menceritakan kejadian yang telah menimpa padepokan Sapta Dhahana.

“Jadi Begawan Cipta Hening tidak ketahuan rimbanya?” bertanya Eyang Guru kemudian.

“Ampun Eyang Guru, selama pertempuran berlangsung, kami para cantrik tidak melihat sama sekali bayangan Begawan aneh itu.”

“Bagaimana dengan putut-putut yang lain?” bertanya Raden Wirasena menyela.

“Beberapa putut memang terlihat dalam pertempuran,” jawab cantrik Soma sambil terus mengayunkan langkahnya, “Namun yang membuat kami benar-benar tidak percaya adalah kematian Guru dan kakang Putut Sambernyawa.”

“He?!” untuk kesekian kalinya kedua orang itu kembali terkejut.

“Bagaimana mungkin putut Sambernyawa dapat terbunuh? Siapakah pembunuhnya?” bertanya Eyang Guru kemudian dengan wajah yang merah padam menahan amarah yang sudah sampai ke ubun-ubun.

Kembali tubuh cantrik Soma menggigil seperti tersiram banyu sewindu. Jawabnya kemudian di antara suara gemeluthuk gigi-giginya, “Ampun Eyang Guru. Kami tidak tahu siapa yang telah membunuh kakang putut Sambernyawa. Kami hanya mendapatkan tubuhnya tergeletak agak jauh dari tempat jasad Kiai Damar Sasangka.”

Dada kedua orang itu bagaikan meledak menahan luapan kemarahan yang tiada taranya. Untuk beberapa saat kedua orang itu justru tidak mampu untuk berkata-kata.

Namun Eyang Guru segera mampu menguasai diri. Katanya kemudian sambil berpaling ke arah orang yang mengaku sebagai Trah Sekar Seda Lepen itu, “Raden, hancurnya padepokan Sapta Dhahana jangan membuat surut perjuangan kita. Kita masih mempunyai beberapa kawan seperjuangan yang dapat diandalkan. Setelah kita membalas dendam kepada perdikan Matesih dan mendudukinya, aku akan mengadakan hubungan dengan kawan-kawan lama yang dapat kita ajak untuk menegakkan keadilan di tanah ini.”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang