Jilid 11 bag 1

147 2 0
                                    

GAGAKSETA-2

MELESTARIKAN CERITA SILAT INDONESIA

STSD-11

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

(Lanjutan TADBM)

karya mbah_man

Padepokan “Sekar Keluwih” Sidoarjo

STSD Jilid 11

Bagian 1

Melihat raut wajah ayahnya menjadi sedemikian tegang, Ratri segera menceritakan kejadian di halaman belakang tadi pagi, tanpa dikurangi maupun ditambahi.

“Kakang Gatra Bumi lah yang telah berhasil melumpuhkan Ki Jagabaya,” berkata Ratri mengakhiri ceritanya, “Aku mengatas namakan ayah telah mengucapkan terima kasih atas bantuan Kakang Gatra Bumi sehingga usaha penculikan itu dapat digagalkan.”

Ki Gede Matesih menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menghela nafas panjang mendengar cerita anak perempuan satu-satunya itu. Untunglah Yang Maha Agung masih melindungi keluarganya melalui lantaran cantrik Gatra Bumi. Jika saja rencana Ki Jagabaya itu bisa terwujud, tentu perlawanan pasukan pengawal Matesih di Gunung Tidar pagi tadi dengan mudahnya akan dapat dilumpuhkan.

“Aku tidak tahu apa yang harus aku perbuat, jika Ki Jagabaya kemudian membawa Ratri ke Gunung Tidar sebagai sandera,” berkata Ki Gede kemudian dalam hati, “Aku benar-benar akan dihadapkan pada dua pilihan yang sangat sulit.”

“Ki Ajar,” berkata Ki Gede kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Entah sudah keberapa kalinya aku harus mengucapkan terima kasih atas bantuan Ki Ajar dan cantrik Gatra Bumi. Aku atas nama seluruh kawula Perdikan Matesih merasa berhutang budi kepada Ki Ajar berdua. Jika Ki Ajar berkenan, tinggallah di Perdikan Matesih. Akan kita bangunkan sebuah padepokan untuk Ki Ajar berdua. Sehingga ke depan, Ki Ajar dapat menjadikan padepokan itu sebagai sarana untuk menggulawentah para murid-murid Ki Ajar utamanya para pemuda yang berasal dari Perdikan Matesih.”

“Ah,” desah Ki Ajar sambil beringsut setapak ke belakang, “Itu aku kira terlalu berlebihan Ki Gede. Apa yang kami lakukan adalah sebagai kewajiban kepada sesama untuk saling membantu. Sebagaimana yang telah diajarkan oleh Kanjeng Sunan.”

“Ayah,” tiba-tiba Ratri menyela, “Kejadian tadi pagi telah memberikan aku sebuah pengalaman. Aku tidak boleh bergantung kepada pertolongan seseorang walaupun semua pertolongan itu sumbernya dari Yang Maha Agung semata, namun manusia diwajibkan untuk berusaha.”

Ki Gede mengerutkan keningnya mendengar ucapan putrinya itu. Sambil berpaling ke arah putrinya, ditatapnya tajam-tajam sepasang mata anak perempuan kesayangannya itu. Sementara Ki Ajar yang sudah dapat menduga arah pembicaraan Ratri telah menarik nafas dalam-dalam.

“Apa maksudmu Ratri?” bertanya Ki Gede kemudian dengan suara sedikit ragu-ragu.

“Ayah,” berkata Ratri selanjutnya sambil menggeser duduknya merapat mendekati Ki Gede, “Aku telah memutuskan untuk keluar dari kelemahan seorang perempuan. Aku telah memutuskan untuk mempelajari olah kanuragan sebagaimana kebanyakan laki-laki melakukannya.”

“He?” seru Ki Gede tertahan. Kerut merut di dahinya pun semakin dalam.

“Apa salahnya ayah?” sergah Ratri sebelum ayahnya menanggapi ucapannya, “Aku sudah dewasa dan aku sudah berhak menentukan jalan hidupku. Namun aku tetap mohon doa restu dari ayah agar apa yang aku cita-citakan ini terwujud dan benar-benar akan bermanfaat bagi diriku sendiri dan bagi bebrayan agung.”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang