Jilid 9 bag 3

56 3 0
                                    

Menu

Gagakseta-2

MELESTARIKAN CERITA SILAT INDONESIA

STSD-09

 Bagian 3

“Itu tidak perlu, Ki,” sela pengawal pribadi Pangeran Pati Mataram itu, “Aku sudah cukup beristirahat tadi di padepokan Sapta Dhahana sebelum kita berangkat. Aku sudah cukup kuat untuk…”

“Menghabiskan sebakul nasi dengan lauk dendeng sapi dan sayur keluwih?” sahut Ki Jayaraga cepat.

Segera saja gelak tawa kembali terdengar dalam rombongan itu.

Demikianlah sejenak kemudian rombongan pasukan pengawal Matesih itu telah memasuki padukuhan induk. Beberapa pengawal yang berjaga di pintu gerbang segera menyambut dan memberikan penghormatan. Dengan dada bergemuruh penuh kebanggaan, Ki Gede dan pasukannya pun kemudian membalas penghormatan itu

Sejenak kemudian, berita kedatangan Ki Gede beserta pasukan pengawal Matesih itu pun telah menyebar ke seluruh tanah perdikan Matesih terutama padukuhan induk. Berbondong-bondong para penghuni padukuhan induk dan padukuhan yang berdekatan telah menyempatkan diri untuk menyongsong kedatangan pasukan itu. Laki perempuan, tua muda dan terutama anak-anak telah tumpah ruah di jalan dan berdiri berjajar-jajar di sepanjang jalan menuju ke banjar padukuhan induk.

Ketika Ki Gede dan pasukan pengawalnya kemudian memasuki regol banjar padukuhan induk, Ki Gede segera memerintahkan para pengawal yang menandu Ki Jayaraga dan yang terluka lainnya langsung memasuki pringgitan.

“Bawa Ki Jayaraga ke bilik ruang dalam, sedangkan yang lainnya di pringgitan” berkata Ki Gede kemudian, “Sekalian beri tahu para pelayan untuk menyiapkan makan sekedarnya terutama bagi yang terluka. Jika dirasa perlu, para pelayan dapat meminta tolong kepada perempuan-perempuan yang tinggal di sekitar banjar.”

“Baik, Ki Gede” jawab salah satu pengawal itu sambil membawa tandu bersama kawan-kawannya langsung menaiki pendapa dan kemudian masuk ke pringgitan.

“Jika Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan ingin beristirahat, silahkan langsung ke pringgitan,” berkata Ki Gede kemudian kepada kedua orang itu yang masih berdiri termangu-mangu di halaman banjar.

“O, tidak, tidak,” hampir bersamaan kedua orang tua itu menjawab.

“Aku akan membantu Ki Gede di pendapa,” lanjut Ki Waskita kemudian, “Mungkin Ki Bango Lamatan yang memerlukan istirahat.”

Ki Bango Lamatan mengerutkan keningnya. Namun ketika terpandang senyum yang tersungging di bibir ayah Rudita itu, Ki Bango Lamatan pun akhirnya ikut tersenyum sambil menjawab, “Aku memang akan beristirahat, Ki Gede. Namun nanti menunggu datangnya sebakul nasi putih hangat dengan sayur keluwih dan lauk dendeng sapi serta sambal tomat yang pedas.”

“Ah,” Ki Gede tertawa demikian juga Ki Waskita. Berkata Ki Gede kemudian, “Mungkin harapan Ki Bango Lamatan untuk mendapatkan semua itu di banjar ini tidak akan terpenuhi. Tetapi nanti setelah semua urusan selesai, aku akan minta para pelayan di rumahku untuk memasakkan klangenan Ki Bango Lamatan itu.”

“O, terima kasih Ki Gede. Aku sudah tidak sabar menunggu,” sahut Ki Bango Lamatan dan orang-orang pun tertawa kembali.

Dalam pada itu, seorang perempuan muda sambil menggendong bayinya tampak berdiri termangu-mangu di sudut banjar padukuhan induk. Matanya tak lepas mengamati satu-persatu pengawal Matesih yang memasuki halaman banjar yang luas itu. Dicobanya mencari-cari barangkali suaminya ada di antara pasukan pengawal yang datang.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang