JILID 8 BAG 2

137 5 0
                                    

GAGAKSETA-2

MELESTARIKAN CERITA SILAT INDONESIA

STSD-08

Bagian 2

Kemudian dengan mengangguk hormat, pengawal bertubuh kekar itu pun berkata kepada cantrik Gatra Bumi, “Aku harap cantrik Gatra Bumi berkenan kembali ke pendapa. Bukankah orang tua yang duduk terkantuk kantuk di pendapa itu adalah gurumu?”

Cantrik Gatra Bumi menjadi sedikit ewuh pakewuh mendapat perlakuan seperti itu. Namun dia pun menjawab, “Benar, orang yang sudah sangat sepuh itu adalah guruku.”

Demikianlah akhirnya pertemuan di halaman belakang itu pun segera bubar. Para pengawal telah kembali ke tempat jaga masing-masing. Sedangkan cantrik Gatra Bumi tidak lagi diperbolehkan mengisi pakiwan dan diantar ke pendapa. Sementara Ratri dan pemomongnya segera kembali ke ruang dalam.

*****

Dalam pada itu, pertempuran di Padepokan Sapta Dhahana semakin lama menjadi semakin sengit. Ki Gede yang menyadari lawannya telah menggunakan gelar Gedhong Minep sebagai usaha untuk bertahan telah memutuskan untuk menggunakan gelar Dirada Meta. Gelar yang menggambarkan seekor gajah yang sedang mengamuk.

Di ujung belalai Ki Gede memimpin sendiri sekelompok pengawal pilihan, sedangkan yang menjadi sepasang gadingnya adalah Ki Kamituwa dan Ki Wiyaga. Sementara beberapa pemimpin kelompok pengawal telah memimpin di bagian kaki dan tubuh gelar Dirada Meta itu.

Ternyata yang terjadi kemudian adalah sebuah pertempuran antara hidup dan mati. Sesuai dengan namanya, gelar Gedhong Minep benar-benar seperti sebuah bangunan yang sulit ditembus. Berkali-kali Ki Gede dan sekelompok pengawal pilihan yang berada di belalai berusaha mendobrak pintu gelar Gedhong Minep itu, namun selalu saja gagal. Demikian juga sepasang gading dan kedua kaki depan gajah yang sedang mengamuk itu berusaha mendobrak dinding gelar Gedhong Minep, namun mereka selalu terpukul mudur.

“Majuu..!” teriak Ki Gede kemudian memberi aba-aba pasukannya untuk lebih memberi tekanan terhadap pasukan lawan. Pasukan pengawal Matesih yang berada di belakang pun akhirnya ikut mendesak ke depan, memberi tekanan terhadap gelar lawan.

Dalam pada itu, pasukan para cantrik Padepokan Sapta Dhahana ternyata memiliki jumlah yang cukup banyak. Melihat bala bantuan yang mengalir terus-menerus dari belakang bangunan induk, salah seorang yang berjambang lebat memberanikan diri berkata kepada salah seorang cantrik yang terlihat sudah berumur paro baya.

“Kakang Putut Talangpati,” bisiknya kemudian sambil terus bertempur, “Melihat jumlah pasukan kita yang terus bertambah, agaknya sudah waktunya kita mengubah gelar.”

Orang yang dipanggil Putut Talangpati itu sejenak berpikir. Pedang di tangan kanannya berputar-putar bagaikan kitiran sehingga membuat lawan-lawannya berloncatan mundur.

Setelah melihat lawan-lawannya meloncat mundur, barulah Putut Talangpati menjawab, “Adi Jamprong, pergilah menemui kakang Putut Talangwani. Beritahu akan perubahan rencana kita ini. Demikian juga Adi Putut Talanggeni dan Talangbanyu harus mengetahui perubahan rencana kita ini.”

Cantrik yang bernama Jamprong itu mengangguk. Tanpa bertanya lagi dia segera meloncat dan menghilang dalam hiruk pikuknya pertempuran.

Sepeninggal Jamprong, untuk beberapa saat Putut Talangpati masih berdiri termangu-mangu di tempatnya. Pandangan matanya tak lepas dari bayangan seseorang yang usianya tidak jauh berbeda dengan dirinya. Di tangan orang itu tergenggam sebuah tombak pendek yang bergerak dengan kecepatan hampir tidak kasat mata. Ujung tombak maupun landeyannya secara bergantian bergerak dengan kecepatan tinggi mengobrak-abrik sekelompok cantrik yang berusaha menahan geraknya.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang