Jilid 10 bag 1

113 3 0
                                    

PADA ITU, pendengaran Ki Patih Mandaraka dan Pangeran Pati yang sangat tajam melebihi orang kebanyakan ternyata telah menangkap suara ringkikan kuda Panembahan Hanyakrawati. Suara ringkikan kuda itu terdengar cukup keras seolah-olah 

GAGAKSETA-2

MELESTARIKAN CERITA SILAT INDONESIA

STSD-10

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

(Lanjutan TADBM)

karya mbah_man

Padepokan “Sekar Keluwih” Sidoarjo

STSD Jilid 10

Bagian 1

DALAM PADA ITU, pendengaran Ki Patih Mandaraka dan Pangeran Pati yang sangat tajam melebihi orang kebanyakan ternyata telah menangkap suara ringkikan kuda Panembahan Hanyakrawati. Suara ringkikan kuda itu terdengar cukup keras seolah-olah mengisyaratkan kuda itu sedang mendapatkan sebuah petaka.

“Sebentar, Pangeran!” seru Ki Patih sambil mengekang tali kendali kudanya dengan tiba-tiba sehingga kuda itu telah terkejut dan berhenti seketika dengan mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Sementara Pangeran Pati yang berkuda di sebelahnya pun  kemudian berbuat serupa.

“Eyang Buyut Mandaraka,” berkata Pangeran Pati kemudian sambil mengendalikan kudanya yang agak terkejut karena dikekang dengan tiba-tiba, “Mengapa kita justru berhenti? Aku mendengar kuda Ayahanda Prabu telah meringkik keras. Mungkin telah terjadi sesuatu dengan Sinuhun Prabu.”

“Sabarlah Pangeran,” jawab Ki Patih perlahan sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sejenak dipandanginya hutan di hadapannya yang membujur di sebelah barat padang rumput itu. Panggraita Ki Patih merasakan sebuah isyarat tentang bahaya yang sedang menghadang di sepanjang jalur jalan setapak yang menjelujur di hadapan mereka berdua.

“Apakah kita akan meneruskan perjalanan, Eyang Buyut?” bertanya Pangeran Pati kemudian dengan suara terdengar sedikit tidak sabar begitu melihat Ki Patih hanya termangu-mangu di atas punggung kudanya.

“Ya, Pangeran,” jawab Ki Patih kemudian sambil meloncat turun dari kudanya, “Kita lanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.”

Pangeran Pati Mataram itu pun menjadi heran. Namun Pangeran yang semasa mudanya bernama Mas Rangsang itu pun akhirnya ikut meloncat turun juga dari kudanya.

“Mengapa kita justru berjalan kaki, Eyang Buyut?” kembali Pangeran Pati bertanya sambil menuntun kudanya mengikuti langkah kaki Ki Patih.

“Pangeran,” jawab Ki Patih yang juga menuntun kudanya sambil menjajari Raden Mas Rangsang, “Aku merasakan ada suatu bahaya yang sedang menunggu di sepanjang jalur jalan setapak di hadapan kita itu. Firasatku mengatakan demikian. Sebaiknya kita berjalan kaki saja agar lebih siap jika menghadapi sesuatu yang tak terduga.”

Terasa sebuah desir yang sangat tajam menggores jantung Pangeran Pati. Betapapun juga jawaban Ki Patih itu telah membuatnya semakin gelisah dan mengkhawatirkan akan nasib Ayahandanya.

Setelah menarik nafas panjang untuk sekedar meredakan getar-getar di dalam dadanya, Pangeran Pati itu pun kemudian kembali bertanya, “Bagaimana dengan Ayahanda Prabu? Apakah kita tidak segera menyusulnya? Aku takut bahaya itu justru menghadang Ayahanda Prabu sendiri.”

Sekilas Ki Patih berpaling. Jawabnya kemudian, “Pangeran, kadang kita memang dihadapkan pada dua pilihan yang sangat sulit. Namun jika memang aku diharuskan memilih, aku memilih untuk menyelamatkan masa depan, masa depan seluruh kawula Mataram yang sangat bergantung dengan apa yang mungkin saja akan terjadi pada saat ini.”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang