Jilid 25

156 6 1
                                    

Home

ADBM1

ADBM2

ADBM3

ADBM4

Logo ADBM Group

ADBM lanjutan

API DI BUKIT MENOREH

Entries RSS | Comments RSS

Kalender

January 2022MTWTFSS 12345678910111213141516171819202122232425262728293031 « Jan    

Statistik Blog

7,875,588 kunjungan

Tulisan Terakhir

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH January 5, 2017

PEMBUKA October 20, 2011

Komentar

P. Satpam on KLMM-03P. Satpam on KLMM-03Ryan oke on STSD-34Ryan oke on STSD-32nugrohoyudi on KLMM-03Roys Suroyo on KLMM-03Ridwan34 on KLMM-03P. Satpam on KLMM-03P. Satpam on KLMM-03Ridwan34 on KLMM-03

Archives

January 2017

October 2011

STSD-25

kembali ke STSD-24 | lanjut ke STSD-26

Bagian 1

BERDESIR dada setiap orang dalam rombongan Ki Gede Matesih. Sambutan yang benar-benar mendebarkan jantung. Bahkan Ratri telah bergeser merapat ke arah ayahnya.

“Ayah,” bisik Ratri dengan suara perlahan dan bergetar, “Ternyata orang-orang perdikan Menoreh tidak seramah yang aku bayangkan. Lebih baik kita kembali saja, ayah.”

Ki Gede Matesih tidak tahu harus menjawab apa. Namun jauh di dalam lubuk hatinya, Ki Gede merasakan adanya kejanggalan sikap Ki Bango Lamatan dalam menghadapi situasi yang cukup menegangkan itu. Pengawal pribadi Pangeran Pati itu tampak berusaha bersikap setenang mungkin.

“Kiai Sabda Dadi,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian sambil melangkah maju, “Aku memang Bango Lamatan, orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra yang beberapa tahun lalu pernah menggegerkan perdikan Menoreh,” Ki Bango Lamatan berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Aku tidak bersembunyi di balik jambang dan janggutku. Namun aku juga tidak datang untuk menyerahkan nyawaku. Aku datang atas perintah Pangeran Pati Mataram untuk mengantarkan Ki Gede Matesih dan puterinya ke perdikan Menoreh.”

Selesai berkata demikian, tanpa menunggu kesan dari orang-orang yang sedang mengepungnya, Ki Bango Lamatan segera merogoh kantung dalam ikat pinggangnya. Sejenak kemudian sebuah lencana yang berkilat kilat tertimpa cahaya Matahari yang lemah telah berada di tangan kanan Ki Bango Lamatan.

“Silahkan Kiai,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian sambil mengangsurkan lencana di tangan kanannya, “Periksalah. Jika lencana ini palsu, leherku yang menjadi taruhannya.”

Dengan ragu-ragu Kiai Sabda Dadi segera menerima lencana itu. Untuk beberapa saat di amat amati lencana yang berada di tangannya, namun ternyata Kiai Sabda Dadi telah menggeleng.

Katanya kemudian sambil kembali mengangsurkan lencana itu kepada Ki Bango Lamatan, “Mohon maaf, aku tidak mengenal lencana ini. Aku bukan seorang prajurit atau pangreh praja yang mengetahui seluk beluk tentang sebuah lencana.”

Namun sebelum Ki Bango Lamatan menerima kembali lencananya, tiba-tiba dari arah pendapa terdengar sebuah seruan.

“Tunggu dulu Kiai Sabda Dadi, biarkan aku yang memeriksanya!”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang