Menu
Gagakseta-2
MELESTARIKAN CERITA SILAT INDONESIA
STSD-09
Bagian 2
“Nah, anak muda,” berkata petani yang sedari tadi menyodorkan sebuah nasi bungkus kepadanya, “Makanlah. Sebagian dari kami memang sudah selesai makan, namun yang lain akan menemanimu makan. Setelah itu engkau dapat meneruskan perjalananmu dengan perut kenyang.”
Anak muda itu terlihat sedikit ragu-ragu. Namun ketika terpandang wajah-wajah lugu dan polos para petani itu, anak muda itu pun tidak dapat menolaknya.
“Terima kasih paman,” berkata anak muda itu kemudian sambil menerima bungkusan nasi itu.
Setelah mencuci tangannya terlebih dahulu di parit sebelah gubug yang mengalir bening, beberapa saat kemudian, anak muda itupun tampak dengan sangat lahapnya menikmati nasi bungkus pemberian salah satu petani itu.
“Siapakah namamu, anak muda?” bertanya salah satu petani itu di sela-sela suara suapan dan kunyahan di dalam gubug itu.
“Glagah Putih, paman,” jawab anak muda itu yang ternyata adalah Glagah Putih sambil menelan nasi yang hampir tersangkut di kerongkongannya. Lanjutnya kemudian, “Bolehkan aku minta minuman seteguk?”
“O, silahkan.., silahkan,” sahut salah satu petani yang berdekatan dengan kendi tempat air minum. Dengan cepat kendi itu segera disodorkan kepada Glagah Putih.
“Terima kasih,” berkata Glagah Putih perlahan sambil menerima kendi itu. Sejenak kemudian diminumnya air dari dalam kendi itu beberapa teguk.
“Siapakah sebenarnya yang angger cari?” tiba-tiba petani yang beruban itu mengajukan sebuah pertanyaan yang membuat Glagah Putih tertegun sejenak.
Pertanyaan itu bagi orang lain memang terdengar wajar. Namun tidak bagi Glagah Putih. Dia sedang mencari kakak sepupunya Ki Rangga Agung Sedayu. Tentu saja Glagah Putih tidak mungkin berterus terang kepada orang-orang yang belum dikenalnya walaupun ujud mereka hanyalah sebagai petani biasa.
“Salah seorang keluarga kami sedang menderita sakit,” akhirnya Glagah Putih menemukan jawaban, “Ayah dan adikku telah membawanya pergi untuk berobat, namun aku tidak tahu ke arah mana mereka membawanya?”
“Siapakah yang sedang sakit?” kembali petani yang beruban itu bertanya.
Berdesir dada Glagah Putih. Pertanyaan itu memang kembali terdengar sangat wajar, namun Glagah Putih merasa perlu untuk tetap merahasiakannya.
“Kakak sepupuku yang sakit,” kembali Glagah Putih menjawab tanpa menyebutkan secara terperinci.
“O”, hampir bersamaan para petani itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Silahkan dihabiskan, ngger,” berkata petani tua itu kemudian sambil mempersilahkan, “Jika angger benar-benar kenyang, mungkin sampai menjelang malam nanti angger tidak akan merasa lapar.”
Glagah Putih tidak menjawab hanya menganggukkan kepalanya. Dihabiskannya sisa makanan yang masih ada di bungkus daun pisang itu.
“Ah, alangkah kenyangnya!” desis Glagah Putih kemudian sambil menegakkan tubuhnya dan mengusap usap perutnya.
Orang-orang yang berada di dalam gubug itu tersenyum melihat tingkah Glagah Putih. Salah seorang yang rambutnya hampir putih semua menyeletuk, “Angger Glagah Putih, makanan kami masih banyak. Silahkan kalau masih mau menambah.”
“O, tidak paman. Terima kasih. Aku benar-benar sudah kenyang,” jawab Glagah Putih sambil bangkit dan turun dari gubug.