JILID 7 BAG 2

129 4 0
                                    

Menu

API DI BUKIT MENOREH

Melestarikan karya agung anak bangsa

STSD-07

Bagian 2

Raden Surengpati yang sudah merasa di atas angin itu terkejut melihat sikap Glagah Putih, namun semuanya sudah terlambat. Raden Surengpati pun segera menghentakkan puncak ilmunya. Angin pusaran bercampur panasnya api melanda Glagah Putih dengan dahsyatnya.

Glagah Putih yang telah mengambil keputusan untuk segera mengakhiri pertempuran itu sudah tidak dapat berpikir panjang lagi. Dia harus segera mengetahui keadaan kakak sepupunya itu. Sejenak kemudian, dari kedua telapak tangannya yang terbuka menghadap ke depan, meluncur sinar yang menyilaukan menghantam badai api yang menerjangnya.

Benturan pun terjadi dengan dahsyatnya. Ledakan disertai dengan semburan api telah melanda tempat itu. Kedua orang itu pun sama-sama telah terlempar ke belakang sebelum akhirnya jatuh bergulingan di atas tanah.

Glagah Putih merasakan sekujur tubuhnya bagaikan terpanggang di atas bara api dari tempurung kelapa. Beberapa bagian tubuhnya bahkan terasa pedih dan panas. Ketika Glagah Putih kemudian mencoba bangkit berdiri, betapa tulang belulangnya bagaikan telah berpatahan. Sementara di beberapa bagian tubuhnya, sebagian kulitnya ternyata telah melepuh terbakar.

Sejenak Glagah Putih mencoba untuk memperbaiki keadaannya dengan menarik nafas dalam-dalam beberapa kali untuk melonggarkan pernafasannya yang bagaikan tersumbat. Ketika pandangan matanya kemudian mengarah ke depan, tampak tubuh Raden Surengpati terbujur diam, entah pingsan atau mati.

Setelah merasakan tubuhnya sedikit demi sedikit mulai terasa menjadi segar kembali, Glagah Putih pun segera meneruskan usahanya untuk berdiri tegak. Begitu merasakan keadaannya sudah semakin membaik, Glagah Putih pun sudah tidak dapat menahan diri lagi. Dengan bergegas dia segera berlari menuju ke arah dinding padepokan sebelah timur.

Dalam pada itu beberapa puluh tombak dari tempat pertempuran Ki Waskita melawan Putut Sambernyawa, di antara lebatnya pepohonan hutan sebelah timur gunung Tidar, tampak dua orang sedang berjalan perlahan meninggalkan tempat itu.

“Eyang,” berkata seorang perempuan yang terlihat masih muda dan cantik, “Mengapa pada saat terjadi benturan tadi, Eyang tidak berusaha menolong Ki Rangga?”

Orang berperawakan tinggi besar yang berjalan di sebelahnya tidak segera menjawab. Setelah menarik nafas panjang, barulah dia kemudian menjawab, “Rara, yang membangunkan Ki Rangga dari puncak samadinya tadi bukanlah aku. Sebelum kita tiba di tempat ini, panggraitaku sudah mengatakan bahwa ada dua orang yang terlebih dahulu telah berada di tempat ini.”

“Siapakah sebenarnya mereka itu, Eyang?” sahut perempuan muda itu dengan serta merta.

Orang yang di panggil Eyang itu menggeleng. Jawabnya kemudian, “Aku tidak tahu. Namun yang jelas mereka berada di pihak Mataram karena telah menolong Ki Rangga di saat-saat lawannya mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghancurkan Ki Rangga. Jika Ki Rangga masih tenggelam dalam puncak samadinya, tentu petualangan Ki Rangga sebagai agul-agulnya Mataram telah berakhir di sini.”

Sejenak suasana menjadi hening. Hanya suara gemerisik dedaunan kering di atas tanah lembab yang terinjak oleh kaki mereka saja yang terdengar dalam irama ajeg. Sementara tanda-tanda datangnya sang fajar mulai tampak menjelang.

“Eyang,” kembali terdengar suara perempuan cantik itu, “Kemanakah kedua orang itu akan membawa Ki Rangga?”

“Aku tidak tahu Rara.”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang