GAGAKSETA-2
MELESTARIKAN CERITA SILAT INDONESIA
STSD-04
Bagian 3
“Nah,” berkata Ki Ajar kemudian, “Apakah Ki Waskita dan Ki Rangga sejauh ini dalam keadaan sehat tak kurang suatu apapun?”
“Demikianlah Ki Ajar,” jawab Ki Waskita, “Atas limpahan rahmat dari Yang Maha Agung kami berdua tak kurang suatu apapun sampai saat ini.”
“Syukurlah,” sahut Ki Ajar sambil mengangguk -anggukkan kepalanya.
Sementara pandangan mata Ki Rangga tak pernah lepas dari raut wajah Ki Ajar. Ada sesuatu yang membuat jantung Ki Rangga berdesir setiap kali menatap sepasang mata yang terlihat bening bersinar itu.
“Rasa-rasanya sepasang mata yang bening itu sudah sering aku lihat,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Namun aku lupa, entah dimana sepasang mata yang jernih itu sering aku jumpai.”
Ki Rangga benar-benar telah mengerahkan segenap daya ingatnya. Namun sungguh sangat mengherankan. Ki Rangga yang mempunyai otak cemerlang dan daya ingat yang sangat kuat itu tiba-tiba saja bagaikan orang linglung, tidak mampu mengingat lagi, kapan dan dimana dia sering menjumpai sepasang mata yang bening itu.
Sedang Ki Waskita yang telah mempunyai pengalaman hidup lebih lama dari Ki Rangga justru tidak mempunyai gambaran sama sekali, siapakah sebenarnya orang yang mengaku bernama Ki Ajar Mintaraga itu.
“Ki Rangga,” terdengar suara Ki Ajar membangunkan Ki Rangga dari lamunannya, “Sebelumnya kami berdua mohon maaf jika kehadiran kami berdua di tengah hutan ini telah mengganggu tugas-tugas Ki Rangga.”
“O, sama sekali tidak, Ki Ajar,” sahut Ki Rangga cepat, “Justru kami merasa beruntung mendapat kesempatan untuk mendapat petunjuk dari Ki Ajar.”
“Ah,” Ki Ajar tertawa pendek. Lanjutnya kemudian, “Sebenarnyalah aku berdua dengan Cantrik Gatra Bumi ini mengemban amanah dari Kanjeng Sunan.”
Berdesir dada kedua orang itu begitu mendengar nama Kanjeng Sunan disebut kembali. Tanpa sadar keduanya telah beringsut dari tempat duduk mereka sejengkal ke depan.
“Mohon maaf Ki Ajar,” kI Waskitalah yang kemudian bertanya, “Jika kami berdua diperkenankan mengetahui, untuk siapakah pesan dari Kanjeng Sunan itu?”
Ki Ajar tersenyum. Jawabnya kemudian, “Pesan ini khusus untuk Ki Rangga Agung Sedayu. Jika sudah tidak disibukkan lagi dengan tugas-tugasnya, kedatangan Ki Rangga di gunung Muria sangatlah ditunggu.”
Kembali dada Ki Rangga berdesir, dan kali ini terasa lebih tajam menggores jantungnya. Ki Rangga segera saja teringat pertemuannya yang pertama kali dengan Kanjeng Sunan di Panaraga. Dia telah berjanji untuk suatu saat mengunjungi Gunung Muria.
“Aku harus benar-benar menyempatkan waktu,” berkata Ki Rangga dalam hati sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam, “Namun kapan tugas-tugasku akan berakhir? Jika Yang Maha Agung mengijinkan aku selamat dari tugas di Gunung Tidar ini, masih menunggu tugas untuk mencari Pangeran Ranapati.”
Terdengar Ki Rangga menghela nafas panjang, panjang sekali. Ketika Ki Rangga kemudian menengadahkan wajahnya, tampak Ki Ajar sedang tersenyum ke arahnya. Sebuah senyum yang rasa-rasanya sangat dikenalnya. Senyum yang selalu muncul jika dia sedang diliputi oleh keragu-raguan dalam menentukan langkah, senyum yang selalu menghiburnya jika terjadi pertentangan di dalam dirinya akan keyakinan yang akan ditempuhnya bersama gadis Sangkal putung itu ketika mereka berdua belum memasuki jenjang rumah tangga.