TEAM: 28: LUKA

1.8K 205 58
                                    

HAPPY READING

...

Sebenarnya Pak Willy tak tahu apa yang harus ia bicarakan pada mereka berlima. Terlebih pada Adly Nirlangga yang sudah membuat Kepala Sekolah marah besar. Melepas PIN dan menempelkannya sembarangan di kepala orang lain tentu perbuatan yang kurang menyenangkan—setidaknya bagi Kepala Sekolah. 

"Ada masalah apa sih, Mas?" tanya Bu Rahma ketika Pak Willy memintanya untuk bertemu di laboraturium. 

"Sun Shiera."

Baru menyebut nama itu saja, Bu Rahma sudah punya kesan yang tidak enak. Pikirnya tahun ini gadis itu tidak akan buat masalah, ternyata masih saja.

"Ada yang gangguin Sunny?" bisik Bu Rahma.

Pak Willy menggeleng. Seiring dengan helaan napas panjang, Pak Willy pun menceritakan semuanya dari awal—tepatnya ketika Liana datang ke sekolah dan meminta Sunny lolos ke dalam program PIN, Kepala Sekolah mengatur rencana, mereka yang protes dan keluar dari melepas PIN begitu saja serta Adly Nirlangga yang melepasnya secara tidak hormat.

Bu Rahma berdecak setelah penjelasan berakhir. "Kenapa Arian nggak nurut aja sih? Ini Sunny lho. Kalau dia nurut, pasti nggak akan jadi masalah kayak gini."

"Ya aku juga bingung kenapa mereka jadi protes. Mungkin mereka tuh punya masalah pribadi dengan Sunny?" tanya Pak Willy membuat Bu Rahma mengernyit, "Dugaan aku aja sih kalau beberapa dari mereka tuh punya masalah pribadi."

Pembicaraan mereka terhenti kala kelima anak yang dipanggil mulai masuk ke dalam ruangan setelah mengetuk pintu. Pak Willy melemparkan kode lewat lirikannya pada Bu Rahma untuk bersikap formal seperti biasa dan membantunya untuk menyelesaikan masalah ini. Bu Rahma mengangguk pelan.

"Kalian berlima pasti udah tau kan kalau kalian jadi perbincangan di sekolah? Sekarang pertemuan kita di sini untuk menyelesaikan masalah. Jadi ... mohon kerja samanya, yah?" ucap Bu Rahma dengan senyuman manis. 

"Masalahnya masih berlanjut yah, Bu?" tanya Prity, balas tersenyum. "Padahal udah selesai kok. Kita kan udah keluar dari program PIN."

"Iya, itu masalahnya anak-anak," seru Pak Willy. "Kalian nggak bisa lepas kendali begitu aja dan keluar tanpa alasan yang nggak jelas."

"Jelas kok, Pak," jawab Prity dengan cepat. "Ow, kalau saya sih jelas. Saya mau buktiin kalau saya nggak bergantung dengan uang sekolah. Bapak nggak tau kan kalau tadi itu, Kepala Sekolah seenaknya menghina kita?"

Pak Willy mengernyit.

"Leon?" tegur Prity, berharap cowok itu ikut membuka suara.

Leon ikut menatap gadis itu. "Iya, Pak. Alasan saya juga—sama dengan Prity."

Sekarang gantian, Bu Rahma dan Pak Willy yang bersipandang. Mulai tidak enak dengan kedua anak itu.

"Arian?" tegur Prity lagi. 

Yang disebut pun mengembuskan napas panjang. "Saya nggak mau dimanfaatin Sunny, Pak."

Bu Rahma menatap Arian, "Manfaatin?"

"Saya nggak mau terima perintah Kepala Sekolah kompetisi dengan Sunny. Mau itu permintaan pihak Sunny juga, saya nggak akan mau."

"Tapi Arian, kamu tau 'kan kalau Sunny itu ...,"

"Sunny nggak akan bisa ngeluarin saya dari sekolah ini, Bu," jawab Arian, yakin. "Kalaupun bisa, coba aja. Saya yakin dia nggak akan ngelakuin itu."

Aurelie hanya melirik Arian yang ada di sampingnya sedang Adly—pandangannya masih lurus ke depan. 

Team ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang