TEAM: 71: RAIN

1.5K 251 99
                                    

HAPPY READING 

...

Seleksi menuju PIN emas sudah dekat. 

Kalau Aurel tidak salah kira, beberapa orang yang pantas dinobatkan jadi pemegang PIN emas itu hanya dirinya dan Adly. Sesuai perkiraan orang-orang. Walau kemunculan Airin membuatnya sedikit yakin Kepala Sekolah akan mempertimbangkannya, tetap saja dia belum memenuhi kualifikasi pemegang PIN terakhir itu.

Oh ya, jangan lupakan kalau Sunny juga kemungkinan masuk dalam pertimbangan Kepala Sekolah. Dia bisa melakukan apa pun yang dia mau hanya dalam sekejap 'kan? Dan Aurel tak mau ikut campur kalau gadis itu masuk. Saingan dengan Adly saja sudah cukup berat. Gimana nanti kalau Sunny? Apa lagi keluarganya sedang mengincar Sunny saat ini.

Sekarang ini di kamarnya, Aurel sedang menimbang-nimbang tentang esainya. 

Ya. Tinggal menekan submit untuk memasukan esai-nya dalam kompetisi, tapi seketika keraguan menghantuinya. Tentu Aurel harus ragu karena esai ini tidak semata-mata hasil pikirannya melainkan salinan dari Adnan yang pernah menang beberapa tahun lalu. 

Telunjuk terangkat, seraya menekan tombol submit itu, kemudian pikirannya malah berputar jika seandainya dia ketahuan menyalin karya Adnan. Bukankah itu akan lebih memalukan?

Pada akhirnya, Aurel hanya tercenung. Membiarkan waktu berjalan hingga deadline pengumpulan esai habis. Memilih untuk bisu dengan kegagalannya dan tidak mengikuti kompetisi itu.

Esok hari saat di kelas, Aurelie menoleh ke arah Adly yang pagi-pagi sekali sudah ada di sana. Seperti biasa, yang dilakukan cowok itu hanya menunduk sambil belajar. Tak pernah bosan melakukan itu setiap hari.

"Lo nggak perlu belajar sekeras itu ... toh elo yang bakal dapetin PIN emas nanti," kata Aurel, tiba-tiba. "Semua orang tau kok."

Mendengar itu, Adly melepaskan pandangan dari buku dan melirik Aurel. Tumben dia bilang begitu.

"Urus esai lo sana."

"Gue nggak jadi ikut." Aurel tersenyum tipis. "Percuma."

Adly memicing. "Pengecut."

Tak merespons yang satu itu, Aurel malah memalingkan pandangan ke depan. 

"Lo nggak capek sama semua ini?" Aurel mengubah topik. "Gue capek ngikutin rantai persaingan keluarga kita. Kenapa kita nggak hentiin aja?" 

Adly mengernyit. 

"Dijadiin alat buat nurutin ego keluarga ... apa sih yang lebih menyedihkan dari itu?" Suaranya bergetir. "Lo bisa bayangin di masa depan, nanti kalau gue atau lo punya anak dan mereka harus lanjutin masalah ini lagi, tahun ke tahun, tertekan, nurutin ambisi kita dan membenci kita?"

Miris sekali bayangan cewek satu ini.

"Ah, lo pasti benci Papa lo juga 'kan?" Aurelie menatapnya. "Tapi lo nggak bisa ngelawan karena lo pengen nunjukin yang terbaik. Lo tau perasaan itu. Pasti di masa depan kita juga bakal jadi orang tua yang menyebalkan dan dibenci anak kita sendiri. Itu ... nyakitin."

Masih belum merespons.

Setelah mengamati raut Aurel, Adly menemukan kenyataan kalau gadis itu benar-benar lelah dan mau semua ini berakhir. Ya, jelas sudah. Dia sadar kalau dia akan kalah di seleksi PIN emas nanti, jadi dia memilih untuk mengakhiri persaingan mereka atas kekalahan itu.

"Kalau berhenti lo pikir semudah itu?" tanya Adly, pada akhirnya. "Ada berapa banyak orang di keluarga yang harus lo lawan? Pasti nggak cuma satu 'kan?"

Tentu. Bayangkan saja, ada Adnan, Johan, belum lagi tante-tantenya dan yang terakhir ... Kakeknya sendiri yang paling keras dan tegas.

Beda dengan Adly. Hanya menghadapi satu orang; Papanya, tapi terasa seperti melawan seribu orang.

Team ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang