TEAM: 58: DIAWASI

1.3K 212 45
                                    

HAPPY READING

...

Bu Rahma memutuskan sambungan telepon dari keluarga Nirlangga setelah berbicara dengan asisten rumah tangga keluarga itu dengan khawatir.

Sampai sekarang, Adly belum juga sadarkan diri. Keluarga Nirlangga pun tak kunjung datang ke rumah sakit—setidaknya menjenguk Adly setelah belasan panggilan telepon yang dilakukan Bu Rahma sejak kemarin.

Alih-alih keluarga Nirlangga, di ruangan ini malah ada Airin dan dua orang tuanya yang sejak kemarin menunggu. Yah, Bu Rahma tak tahu juga apa hubungan dua keluarga ini sampai mereka bersikeras menjaga Adly, tapi kalau bukan mereka, Bu Rahma pasti akan kesulitan sendirian.

"Bu Rahma udah makan? Makan dulu, Bu," tawar Arista sambil membuka kotak berisi makanan ke arahnya.

Bu Rahma tersenyum. "Makasih banyak, Bu. Saya baru aja makan."

"Ah, gitu yah," sahut Arista sambil mengangguk-angguk.

Hening terjadi.

Ke-empatnya mulai menoleh bersamaan ketika melihat lelaki yang terbaring dengan selang infus itu mulai bergerak.

Akhirnya ...

Ada sirat kelegaan yang terpancar dari wajah Bu Rahma ketika mendekati lelaki itu.

Perlahan, Adly membuka kelopak matanya. Semula berkunang, tapi lama-kelamaan pandangannya mulai jelas dan tertuju ke arah plafon rumah sakit, menggerakkan tangan yang terinfus disambut dengan pandangan ngeri Airin. Tak sampai di situ, pandangannya juga sampai ke arah Bu Rahma yang berdiri di samping serta Airin, Jean dan Arista di belakangnya.

"Kamu dehidrasi, jadi dirawat di sini dulu," ucap Bu Rahma seolah menjawab apa yang dipikirkan Adly.

Adly tak menanggapi, pandangannya masih menyisir sudut ruangan. Dan ketika tepat melihat ke samping jendela, lelaki itu menyipit. Hari sudah mulai malam.

Belajar. Gue harus belajar.

Sembari membatin, Adly mulai bangkit, tapi karena kepalanya mendadak pening Adly gagal mengangkat tubuh. Meraba kening karena merasa ada yang mengganjal, Adly menghela napas kasar. Ternyata ada perban kecil yang menempel di sana.

Kemudian, Adly meraih handphone-nya yang ada di nakas. Sekarang lelaki itu malah terkejut.

Melihat ekspresi itu, Bu Rahma mengerjap lemah. "Kamu nggak sadarkan diri sejak kemarin siang."

"Olimpiade-nya gimana?" tanya Adly, to the point. "Pagi ini semifinalnya 'kan?"

"Iya. Tapi—kamu—udah didiskualifikasi."

Setelahnya Adly terdiam.

Ada perasaan aneh yang mulai ia rasakan semacam—kecewa dengan dirinya sendiri.

Belum lagi melihat pesan yang baru saja masuk dari Papanya membuat Adly semakin kesal. Sia-sia saja dia memperjuangkan pagi-siang-malamnya untuk belajar bekal di olimpiade. Bukannya membawa pada kemenangan, malah mengantarkannya ke rumah sakit.

"Adly makan dulu, yah?" Kali ini, Arista yang bersuara mendekat sambil membawakan kotak makan berisi soup ke arahnya. "Kata dokter, Nak Adly kurang cairan, kurang darah juga. Jadi harus banyak makan yang bervitamin."

Adly belum merespons, malah mengamati cukup lama makanan yang disodorkan membuat Arista tersenyum.

"Mau, Tante suapin?"

Adly menggeleng. Segera saja meraih kotak makan itu dan memandang mereka ber-empat bergantian.

"Bu Rahma, Om, sama Tante pulang aja," ucapnya seketika. "Bentar lagi ... Keluarga saya datang."

Team ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang