TEAM: 72: GAME OVER

1.4K 222 73
                                    

HAPPY READING

...

Airin terkejut ketika Adly membalas pelukannya dan malah berbisik seperti itu. Dia juga bisa merasakan jemari Adly yang bertengger di rambutnya dan sesuatu seperti ... sesenggukan? Entahlah. Airin menduga kalau Adly sedang menangis, tapi itu tak mungkin.

Mungkin karena tak pernah merasakan pelukan seintens ini—terlebih di kondisi terlemahnya. Jadi Adly merasa sensitif dan membalas pelukan Airin di sini, daripada Airin melihat cowok itu menangis. Anggap saja begitu.

Walaupun hanya sebentar, tapi kenapa Airin merasa hangat?

"Maaf," ucap Airin setelah membersihkan darah di sudut bibir Adly.

Entah kenapa setelah kejadian tadi, dia jadi tak berani menatap bola mata cowok itu. Sebisa mungkin menghindarinya karena canggung ... dan takut.

"Kenapa?"

"Gue nggak bantuin lo tadi." Airin sedikit menunduk.

"Lo ingat kesepakatan kemarin?"

Airin mengernyit. Awalnya tak mengerti, tapi kemudian Airin teringat kesepakatan mereka untuk tidak saling mengenal.

"Gue nggak bisa," jawab Airin. "Gue nggak bisa pura-pura nggak kenal lo dan nggak bicara setelah kejadian tadi."

Adly hanya diam.

"Lo—" Airin sebenarnya ingin sekali bertanya, apa Adly baik-baik saja? Tapi penampilan yang kacau itu membuatnya tak perlu bertanya lagi. Tentu dia tidak baik-baik saja. Airin hanya ingin tau, bagaimana bisa hal itu terjadi padanya? Bagaimana bisa dia punya Papa yang mengerikan seperti itu?

Hujan sudah reda, tapi langit masih saja gelap. Tampilan mereka sekarang pun sangat acak-acakan di taman sekolah yang sepi ini akibat terlalu lama berada di bawah hujan.

"Kenapa lo nangis?" tanya Adly.

Padahal dia tau sendiri Airin memang cengeng.

"Gue takut," jawabnya. "Maaf ... karena ngajarin gue, lo harus nerima semua ini."

"Airin," tegur Adly lagi. membuat Airin menatap dengan ragu. "Waktunya pulang."

Adly benar. Mereka harus segera pulang untuk membersihkan diri. Takut nanti bisa sakit.

"Lo gimana ... kalau sampe rumah?"

"Gue nggak apa-apa," jawab Adly. "Lo nggak usah mikirin gue."

◽◽◽

"Hm. Baguslah udah ada yang ngobatin dia," gumam Prity sambil menelengkan kepala ke kiri dan kanan setelah mengamati Adly dan Airin dari lantai atas.

Setidaknya pakerjaannya sebagai perawat gadungan yang sering mengobati Adly sudah pensiun sekarang dan digantikan oleh Airin—gadis yang mungkin saja sudah dekat dengan Adly tanpa sepengetahuan siapa pun. Entahlah. Prity sedikit lega.

"Gue tau lo daritadi di situ. Kalau mau ngomong ya ngomong aja," kata Prity lagi. 

Bicara pada Arian yang tadinya mau membuka suara, tapi memilih ikut memperhatikan Airin dan Adly yang sudah beranjak.

Arian memutuskan pandangannya dari mereka dan melirik Prity.

"Ow, lo nggak cemburu Airin sama Adly 'kan?" tanya Prity lagi kali ini membalikkan tubuh menghadapnya.

"Cemburu?"

"Siapa tau aja lo punya perasaan ke Airin."

Arian menjeda, kemudian melirik kembali Airin yang semakin menjauhi sekolah.

Team ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang