TEAM: 29: PERSIAPAN

1.8K 201 85
                                    

HAPPY READING

...

"Airin, nih lihat! Papa udah beli ekor duyung yang paling seksi di online shop. Papa yakin kalau Airin pake ini wah ... pasti Pangeran Eric tergila-gila sama Airin!"

Mendengar kata-kata lebay yang keluar dari mulut Jean, Airin bergidik ngeri. Well, bukan masalah kostum. Kostum duyung itu Airin akui sangat cantik, bahkan kalau boleh Airin ingin menggunakan kostumnya sekarang. Tapi sebentar ... barusan Papanya mengatakan Pangeran Eric 'kan?

"Ih! Jangan ngomong Pangeran Eric gitu, Airin geli tau!" bentak Airin.

Jean dan Arista yang semula berbinar, terkejut mendengar bentakan Putri kesayangan mereka ini. Wah, parah! Airin sudah berani membentak mereka.

"Kok kamu marah sih? Papa jadi sedih nih."

Seketika Airin merasa bersalah. "Ya—ya maaf. Habis, Airin nggak suka."

"Kenapa? Emang Pangeran Eric-nya siapa?"

"Ng—itu ... nggak tau. Lupa namanya siapa."

"Kok bisa lupa?"

"Ya nggak tau!" seru Airin lagi. "Buruan, Airin ntar telat nih ke sekolah."

Jean dan Arista bersitatap, lalu menggelengkan kepala dramatis.

"Kayaknya Airin itu masih frustrasi deh," bisik Arista. "Coba kamu bicara sama dia, bilang baik-baik kalau nanti kita bakal panggilin guru privat biar dia bisa pintar."

"Dibujuk kamu aja dia nggak mau, apalagi aku coba."

"Tapi, kita nggak bisa biarin Airin stress gitu, honey. Airin 'kan ngebet jadi anak pintar, kita harus support dia."

Jean berpikir sejenak. "Ya udah deh aku coba bujuk dia."

Dan selama di perjalanan, Jean sesekali melirik Airin yang wajahnya cemberut. Ragu memulai percakapan. Heran juga kenapa tiba-tiba anak gadisnya ini ngebet jadi anak pintar? Kemarin dia dapat laporan dari Arista kalau Airin beberapa hari ini murung hanya karena nilai ulangannya rendah. Padahal kan setiap saat nilainya memang seperti itu. Pasti Airin terdorong jadi anak pintar karena sesuatu.

Padahal yang sesungguhnya, Airin murung karena Arian dan Leon tak membalas pesannya. Airin kan penasaran apa masalah mereka di sekolah. Juga, Airin murung karena Kepala Sekolah memarahinya kemarin hanya karena melihat jepitan perak yang ditempel Adly. 

Itu semua gara-gara si cowok rese!

"Rin, Papa boleh tanya nggak?" tanya Jean hati-hati.

Airin menoleh sebentar lalu kembali memandangi jalanan lewat jendela. "Tanya apa?"

"Motivasi terbesar Airin di sekolah itu siapa?"

"Hm ...," Airin memasang tampang berpikir. "Papa lah. Sama Mama."

"I—iya, tapi kan Papa sama Mama di tempat kerja bukan di sekolah."

Airin melongo dalam beberapa saat, lalu ber-oh ria. Baru saja peka maksud pertanyaan Jean. "Motivasi terbesar Airin ... apa yah?"

Sebenarnya sih Leon. Leon doang. Ariannya dikit. Tapi, tidak mungkin Airin menjawab itu 'kan? Pertama, Airin malu dan kedua, Airin takut Papanya akan melapor itu pada Leon. Nanti kalau Leon tau, dia akan lebih malu lagi.

"Airin ... pengen gabung program PIN."

Jean mengerjap-kerjapkan matanya beberapa kali. Lalu berdehem. "Wow, program PIN?"

"Kenapa? Papa ragu yah Airin nggak bisa gabung program PIN?" Airin mulai cemberut.

"Nggak kok sayang. Papa seneng kamu malah tertarik sama itu, tapi ... kok tumben Airin pengen gabung itu?"

Team ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang