TEAM: 63: PENDAFTARAN

1.4K 225 33
                                    

HAPPY READING 

...

Aurelie menekan keyboard laptop dengan cepat, mencari pendaftaran lomba bergengsi apa yang masih dibuka. 

Nihil. 

Semua slot olimpiade bergengsi sudah penuh dan kalaupun SMA Bintang Favorit mendaftar, nama yang muncul pasti Adly Nirlangga. 

Memang sih masih ada satu olimpiade yang bisa ia ikuti—kalau saja Adly membiarkannya gabung berkelompok. Sayangnya, lelaki itu pasti menolak dan malah mengusulkan Prity di sana. Menyebalkan.

Saat ini di kamarnya, gadis itu berkeringat. Perutnya berbunyi, tapi tak juga bangkit dari meja belajar. Johan, Adnan dan Jessy pasti ada di rumah utama—rumah Kakek mereka untuk makan malam di sana. 

Aurel menyugar rambutnya frustrasi. Sekarang ia tak tau harus bagaimana. 

Ingin marah, tapi tak tau pada siapa. Ingin juga protes dengan hasil peringkat kemarin, tapi bagaimana bisa? Hanya saja tak menyangka kalau posisi ranking duanya akan diganti begitu saja oleh Airin Clark. Seseorang yang tak pernah terpikirkan bisa menjadi saingannya kali ini.

Selang beberapa saat bergulat dengan batin, Aurel terhentak mendengar ketukan pintu. Semula ia mengira kalau si pengetuk itu Adnan, tapi ternyata itu sepupunya yang berdiri dengan sekantung junk food dengan senyuman tipis.

"Makan yuk, gue juga lapar nih."

Hukuman paling parah yang Adnan berikan pada adiknya adalah membiarkannya tidak makan malam; sampai gadis itu bisa memberikan kabar baik padanya. Itu yang Jessy tau. 

Tahun lalu, ketika mendapat peringkat dua, Jessy bahkan gerah melihat Aurel berdiam diri di kamarnya untuk mencari cara agar Adnan mau setidaknya bicara padanya dan mempercayainya. Dan dengan cara mengikuti kontes robot nasional bersama Adly, akhirnya Aurel punya celah membuat Adnan luluh padanya. 

Setelah mengunci kamar, Jessy langsung mencomot kentang gorengnya dengan khidmat, sesekali melirik layar laptop yang menampilkan pencarian pendaftaran lomba bergengsi lalu melirik Aurel. 

"Belum dapat?" tanya Jessy.

Aurel balas menatapnya dan menggeleng. 

"Udah, nggak usah dipikir dulu. Makan. Nyenengin orang lain juga butuh tenaga."

"Kenapa nggak ikut family dinner?"

"Kan emang nggak pernah ikut. Yang lalu mah paksaan Mama gue aja jadi gue ikut."

Aurel terdiam. 

"Makan anjir, nggak liat muka lo pucat gitu?"

"Kenapa—masih peduli, Jess?"

Jessy berhenti mengunyah, menelan bulat-bulat makanannya dan menghela napas panjang. "Gue pikir, buat nggak peduliin lo itu bisa bikin gue tenang, tapi ternyata bersikap nggak peduli itu malah bikin gue kepikiran. Lo tetap sepupu gue. Dan gue harus peduli."

Setidaknya jawaban itu mampu membuat senyuman Aurel yang manis seperti biasa kembali lagi, kemudian ikut makan bersama Jessy. 

"Makasih, Jess." Aurel sedikit menunduk. "Maaf juga soal kemarin."

"Soal apa? Sunny?"

Aurel mengangguk. 

Jessy mendengkus. "Lo yakin tetap nggak mau laporin Sunny ke mereka?"

"Aku nggak mau nambahin masalah." 

"Kalau nggak mau nambahin masalah, kenapa lo nggak berhenti?" Aurel mengernyit bingung mendengar itu. "Berhenti dari semua ini. Masih terus nurutin ekspektasi mereka."

Team ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang