TEAM: 68: TEAM

1.3K 221 22
                                    

HAPPY READING 

...

Sesuai dugaan Kepala Sekolah, kompetisi yang dibawa Jessy itu adalah kompetisi memalukan yang pernah ada. Buktinya, mereka hanya mendapat juara tiga dari belasan sekolah yang ikut dalam folk-dance. Sama sekali nggak ada harapan untuk ke Internasional. 

Anak Sevenor sialan, padahal tanpa anak-anak payah itu dia bisa solo dan bisa memenangkan ini sendirian!

Sementara itu, masih di lokasi lomba, mereka yang baru saja mendengarkan pengumuman harus melalui drama Marlen menangis karena gugup di depan umum—sekaligus merasa bersalah karena dirinya, tim mereka tidak menang. 

Airin dan Arian mengipas-ngipas wajah cowok itu dan berusaha menenangkannya. 

"Nggak apa-apa kok, kalah menang mah udah biasa. Yang penting lo hebat udah berani tampil," seru Arian. Airin menyetujuinya. 

"Bener tuh, lo tau nggak kalau tadi itu semua orang tepuk tangan kencang banget?" Airin menambahkan. 

Jessy pun hanya bisa mengembuskan napas panjang dan berkacak pinggang. "Udah anjir, nggak usah nangis. Lagian cuma lomba biasa doang kok."

Meskipun sedikit kecewa tidak sesuai harapan, tapi serius kok ... Jessy senang bisa tampil dengan pacarnya di tempat umum begini. Dia juga sudah melakukan terbaik dan juara tiga itu tidak memalukan. 

Walau begitu Jessy juga sadar, setelah ini pasti ada banyak masalah yang akan menghadang terlebih dari keluarganya ...

Belum lagi kalau ia berhadapan dengan Adnan yang pasti akan menertawakannya. Sial. Jessy gagal menampar sepupu sialannya itu.

Marlen yang mengusap-usap air matanya sudah diambil alih oleh Mami dan Bu Rahma. Dikuatkan hatinya agar tegar dan jangan merasa bersalah karena kalah dan menang itu sudah biasa dalam kompetisi.

"Kamu itu keren, Marlen. Nggak apa-apa. Nanti pulang dari sini kita beli cokelat yang banyak," bujuk Mami. 

Bu Rahma yang tak mau kalah memberi petuah juga ikut duduk di samping Marlen dan menyapu punggungnya. 

"Kamu tau pemenang yang sesungguhnya itu apa?"

Marlen menarik ingus.

"Pemenang yang sesungguhnya itu ... dia yang berani melawan rasa takut dan ragunya sendiri. Jadi ranking di kompetisi ini tuh cuma bonus, aslinya kamu udah menang kok. Yakin deh sama Ibu."

Dan seperti itulah akhir dari kompetisi folk-dance dengan hasil latihan seminggu yang tentu saja membuahkan hasil tidak terlalu mengecewakan—setidaknya bagi Jessy dan kawan-kawan. 

Beda lagi dengan Kepala Sekolah yang sudah tertawa puas. Kecewa. Menertawakan Bu Rahma yang masih keukeuh dengan idealismenya tentang; menang-kalah sudah biasa yang penting berani unjuk prestasi. 

Idealisme itu bertambah juga setelah Bu Rahma mengetahui yang akan lolos dalam program PIN itu hanya Sun Shiera. 

Setelah ujian program di mulai, Bu Rahma telah merekomendasikan Marlen untuk ikut mendaftar karena ternyata lelaki itu sudah menjadi murid favoritnya; dari yang useless sampai usefull. Meski Kepala Sekolah mengecamnya, Bu Rahma tetap mendorong Marlen untuk ikut setidaknya membuktikan kalau anak didiknya hebat daripada anak didik Pak Willy. 

Dan terbukti, hasil ujian lelaki itu berada di urutan ketiga setelah nama Airin Clark yang ada di urutan kedua. 

Ranking pertama? Tentu saja diraih oleh Sun Shiera yang Bu Rahma yakini sudah punya bocoran ujian sejak dulu. 

"Ibu nggak mungkin hanya lulusin Sun Shiera di sini. Tiga anak didik saya juga punya nilai yang bagus dan masuk perankingan dari ratusan murid yang daftar. Mereka juga memenuhi kualifikasi sebagai anggota PIN perak di sekolah ini. Ibu harus pertimbangkan lagi Airin, Marlen dan Jessy!" protes Bu Rahma, ketika Kepala Sekolah sudah memastikan siapa yang lolos program PIN tahun ini. 

Team ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang