TEAM: 53: PIANO X VIOLIN

1.4K 188 23
                                    

HAPPY READING

...

"Kenapa ... lo bantuin gue?" tanya Airin, ketika mereka berhasil sampai di perpustakaan. 

Seperti biasa, gedung bagian ini selalu sepi, hanya sedikit para kutu buku yang berlama-lama di ruang baca. Jadi Airin merasa bebas bicara dengan Adly.

Adly pun segera melepas rangkulannya dan melirik Airin. "Siapa yang bantuin lo?"

Airin mengangkat kepala, buru-buru menghapus air mata dan bertatapan dengan Adly. "Lo barusan nolongin gue karena gue mau nangis 'kan?"

Menjeda cukup lama, Adly akhirnya menuju ruang baca, tempat di mana ia biasanya duduk. Menyerahkan buku paket ke arah Airin yang mengekor. "Nggak ada yang bantuin lo. Gue emang nyari lo buat ngasih ini."

Airin yang matanya masih sembab langsung memandang buku itu. "Buat apa?"

"Buat apa lagi emang?" balas Adly, terdengar seperti menyindir. 

Ya, buat dipelajarilah, Rin. 

Ya juga. Airin ingat di rumahnya jarang ada buku paket, modul dan sejenisnya. Adly saja geleng-geleng kepala melihat rak buku gadis itu hanya berisi novel, komik, buku-buku bergambar dan beberapa album foto yang berisi foto keluarga, Arian Leon dan Aishiteru berumur lima bulan. Dasar.

"Oh, gitu," ujar Airin sambil menarik ingus.

"Hukuman gue kemarin udah dilaksanain 'kan?" 

Airin mengangguk-angguk sambil mengambil buku itu. 

"Bagus. Kalo gitu kerjain soal-nya sekarang. Di sini."

"Eh?" Airin segera melirik Adly tak percaya. "Di—sini? Tapi kan jadwal lo ngajarin gue besok."

"Gue nggak punya banyak waktu. Dua hari lagi gue olimpiade dan besok gue harus belajar full. Ulangan semester udah dekat, kalau lo mau cari aman, pergunain waktunya mulai sekarang." Lalu melirik Airin remeh. "Daripada nangis nggak jelas. Cengeng."

Adly menarik kursi dan segera duduk, menepuk meja sebelah meminta Airin bergegas. "Waktunya sepuluh menit."

"Sepuluh menit? Are you kidding me?"

Adly melirik arlojinya dengan wajah datar. "Udah lewat berapa detik." Lalu menarik salah satu buku paket dan membukanya asal-asalan. "Kalau masih salah gue tambahin lima nomor."

"Ah, rese lo." Mau tak mau, Airin pun segera mengambil tempat di sebelah Adly dan mulai mengerjakan soal. 

Baiklah. Tak ada waktu untuk patah hati sekarang karena Airin sedang berhadapan dengan orang yang—Airin tak yakin juga kalau ia punya hati. Yang harus ia lakukan sekarang adalah belajar dan menunjukan pada dunia kalau ia bisa jadi anak pintar. 

Sambil mengerjakan soal, sekali Airin melirik Adly yang fokus membaca di sebelah. Tampaknya sih begitu, tapi walaupun matanya lurus memandang buku Airin merasa diawasi. Anak cerdas 'kan emang suka gitu, bisa membagi konsentrasinya dalam dua hal. 

Airin meringis pelan.

"Boleh pake kalkulator nggak?"

"Nggak," jawab Adly tanpa melirik. "Lo udah ngerti rumusnya. Biasain ngitung tanpa kalkulator."

Airin hanya menarik ingus dengan wajah melas. Ya, seperti biasa, guru privatnya ini terlalu keras hingga tak ada waktu mengasihani Airin yang masih newbie. Alhasil, Airin hanya bisa terus mengerjakan soal semampunya. 

Walau sudah tak mampu lagi sebenarnya karena masih dijerat patah hati. 

Sepuluh menit sudah, Adly pun menutup bukunya dan melirik Airin. "Waktu habis."

Team ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang