TEAM: 46: KISSEU

1.6K 181 76
                                    

HAPPY READING

...

Airin berusaha mengerjap-kerjapkan matanya yang selalu terkatup di meja makan, sebelum pergi ke sekolah. Jangan ditanya, gadis itu sedang ngantuk berat karena menggunakan separuh jam tidurnya demi menghafal anatomi tumbuhan karena hari ini ada ulangan harian Biologi dari Bu Rahma.

Ya, Airin melakukan itu agar tidak kejadian seperti ulangan matematika kemarin, yang sudah semangat 45 tapi hasilnya zonk. Tidak, tidak! Tak apa semangatnya menurun dan loyo hari ini, yang penting kepalanya full akan hafalan.

Sebenarnya juga Airin sudah menyiapkan alternatif lainnya jika ia gagal mengingat jawaban-jawaban itu. Nanti saja, altenatif lainnya akan Airin lakukan kalau ia sudah putus asa.

"Kamu beneran udah mandi, Rin?" tanya Jean. Heran melihat wajah bantal Airin di sana.

"Jangan ajak ngomong deh! Ntar hafalan Airin bisa hilang," serunya.

Jean dan Arista bersitatap, lalu ber-oh ria.

"Airin belajar sendirian yah? Kenapa nggak belajar bareng Adly?"

Airin tak menjawab. Malah batinnya bertanya, kenapa juga ia harus belajar dengan cowok itu?

"Padahal kemarin, Airin paham banget 'kan waktu diajarin Adly?"

Untuk yang satu itu, Airin membenarkannya. Sewaktu cerdas cermat kemarin, Airin memang paham banget tentang pelajaran karena Adly mengajarinya dengan sangat baik. Jelas beda dengan Airin yang niat mencari pemahaman sendirian. Airin bahkan merasa mudah menghafal karena cowok itu bukan hanya mengajari, tapi juga memberinya tips agar mudah menghafal bahan ajar yang ada.

Tapi ... masa sih Airin harus meminta jasa Adly lagi?

Ogah banget.

"Nanti Papa panggilin Adly lagi yah kalau Airin mau belajar."

"Duh, beriisiik," protes Airin. Membuat Jean dan Arista kembali terdiam.

Berbeda dengan Airin yang mencak-mencak tidak jelas, di tempat lain—tepatnya di gerbang sekolah, Marlen yang masih jadi pusat perhatian karena visualnya yang tampan kembali dikerubungi sekumpulan cewek-cewek alayers.

Entah kenapa itu mengingatkan Marlen akan kejadian beberapa tahun lalu yang berusaha ia lupakan. Serius. Marlen dijerat perasaan trauma akan obsesi para gadis ketika mereka menatapnya seperti itu.

Kenapa mereka tidak jijik lagi padanya? Apa Marlen harus menangis lagi seperti anak kecil biar para gadis itu jijik?

"Marlen~ssi, Marlen suka cokelat nggak?"

Sial. Mereka malah membujuknya dengan makanan manis. Seperti tau saja apa kesukaan lelaki itu.

Sementara Jessy yang mengamati dari belakang memicing risi.

Marlen si, Marlen si. Bisa nggak sih nyebutnya biasa aja? Dasar korban drakor.

Dan ketika Marlen mencebikkan bibir, bukannya menjauh mereka malah berseru. "Ah, Marlen~ssi, kiyowooo ...,"

Jessy mendelik. Ewh. Yang kek gitu dibilang kiyowo?

Karena muak melihat itu, Jessy pun segera menghampiri mereka berniat mengusir. "Heh, udah sana-sana nggak usah gangguin dia. Nggak liat apa orangnya udah mo nangis?"

Gawat. Kalau pawangnya sudah bergerak, mereka tak bisa apa-apa. Ini Jessy lho. Preman sekolah saja segan dengan dia apa lagi mereka yang modal teriak-teriak sok imut.

Sesaat setelah para gadis itu pergi dengan wajah yang tertekuk, Jessy melirik Marlen yang nyaris menangis.

"Lo juga satu, ganjen bener lo ma cewek-cewek."

Team ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang