45. Permintaan

440 96 7
                                    

Rina menatap wajah Anna, ia mengobati luka yang ada di tubuh Anna. Gadis itu benar-benar menyakiti dirinya sendiri untuk melampiaskan kesedihannya.

Shandy yang juga berada di samping Anna meringis pelan setiap melihat luka Anna di obati Rina. Ia bersikap seolah ia yang berada di posisi Anna dan merasakan perihnya luka tersebut.

"An, jangan kaya gini," ujar Shandy dengan wajah sedihnya. Pasalnya Anna hanya diam saja, dia tidak merespon rasa sakit. Terlihat seperti mati rasa.

Anna memejamkan matanya, menghela napas pelan. Ia menoleh pada Shandy.

"Jangan pikirin gue terus, lo juga harus istirahat, Bang."

Shandy menggenggam erat tangan Anna. "Gue maunya istirahat bareng lo, An."

Anna memalingkan wajahnya, menatap lurus ke depan. Kini suasana rumahnya nampak sepi, teman-temannya telah pulang.

Ia teringat sosok Gilang lagi. Biasanya jika ia terluka, laki-laki itu pasti ada di dekatnya. Mulutnya tidak pernah berhenti mengoceh menasihati Anna.

Tangan Shandy terangkat memegang wajah Anna agar menatapnya. "Jangan nangis, An."

Gadis itu hanya diam. Dari dekat, ia bisa melihat kesedihan di mata Shandy.

Rina mengelus puncak kepala Anna. "Kita ikhlasin mereka ya," pintanya,

"jangan terus merasa bersalah, karena ini sudah jadi jalan takdir mereka."

Shandy menarik Anna ke dalam pelukannya. Membiarkan gadis itu menangis disana. Rina menghela napas, mengelus punggung putri sambungnya itu.

Rina tidak bermaksud melupakan Gilang. Ia hanya mengikhlaskan putranya itu.

Ia sadar, jika ia tidak boleh berlarut dalam kesedihan. Masih ada tanggung jawab yang harus ia lakukan untuk anak-anaknya yang lain.

"Bunda mohon, kalian jangan ada yang pergi lagi ya. Bunda sayang kalian, dan Bunda pengen kalian saling jaga."

****

Hari ini Anna kembali ke kampus. Wajahnya terlihat lesu dan pucat.

"Annabelle."

Anna menghentikan langkahnya, menoleh ke sumber suara. "Are you okay?" tanyanya.

Anna menghela napas, mendelikkan matanya. Gadis itu bersikap berbeda hari ini, tidak ada senyum yang tercetak diwajahnya. Ia memasang wajah datarnya.

"Nggak usah deket-deket, gue itu bawa sial," balas Anna dingin tanpa mengindahkan pertanyaan lelaki tersebut.

Gadis itu berbalik, melanjutkan langkahnya. "Lo mau kemana?" tanyanya, menahan pergelangan tangan Anna.

Anna menghempaskan tangan lelaki tersebut dengan kasar. "Jauh-jauh dari gue," bentaknya seolah tidak mau di sentuh siapapun.

"An, lo nggak amnesiakan? Ini gue Leo."

Lelaki itu adalah Leo, lelaki yang pernah terperangkap dengan Anna saat itu.

"Dodo kan?" Mata Anna berkaca-kaca setelah menyebutkan satu nama.

Leo terdiam, meneguk salivanya dengan susah payah.

"Lo Dodo kan? Orang yang pernah lukain gue dulu," tanya Anna,

"orang yang sering bilang kalau gue dan Fiki itu pembawa sial, sampe anak-anak nggak mau temenin kita berdua."

"Gue minta maaf," balas Leo tertunduk.

Anna menyunggingkan senyumnnya, air matanya lolos begitu saja.

"Kenapa lo harus kembali ke kehidupan gue? Nggak puas apa dulu lo sakitin gue."

Sayap Pelindung 2 : Cerita yang belum usai [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang