36. Ikhlas

434 95 18
                                    

Anna mendatangi SMA-nya dulu. Lagi-lagi gadis itu memilih membolos.  Ia menghirup napas dalam-dalam, berusaha menghilangkan rasa sesak di dadanya.

"An."

Anna menoleh ke sumber suara. Di belakangnya sudah ada Fajri yang entah sejak kapan berada di rooftop.

"Kok lo disini?" tanya Anna menghapus air matanya.

Fajri tersenyum kecil, melangkahkan kakinya menghampiri Anna. "Nangis aja, kalau itu bisa bikin lo tenang," balasnya menghiraukan pertanyaan Anna.

Anna berbalik membelakangi Fajri, bahunya bergetar. Melihat itu Fajri menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Membiarkan Anna menangis sepuasnya disana.

Beberapa menit kemudian, Anna melepas pelukan Fajri. Ia mengatur napasnya dan menghapus air matanya.

"Gimana, udah sedikit membaik?" tanya Fajri yang di balas anggukan oleh Anna.

Tangan Fajri terangkat, mengacak gemas rambut Anna. "Jarang ketemu sama lo, sekalinya ketemu malah lihat lo nangis," ledeknya sedikit terkekeh.

Anna tersenyum simpul. "Lo kok disini?" tanyanya, "Nggak kuliah?"

"Gue iseng aja sih kesini, mumpung nggak ada kelas, sekalian lihat anak-anak main basket. Kalau lo?"

"Lagi mengenang masa SMA," jawab Anna asal, dengan kepala sedikit tertunduk.

"Lo nggak lupa kan, kalau lo cuma satu tahun disini? Jadi mau mengenang apanya?" sarkas Fajri sedikit bercanda dengan Anna.

"Iya sih, cuma satu tahun. Tapi jangan lupa, selama satu tahun itu juga, selama di sekolah kehidupan gue naik turun, belum lagi disini adalah pertama kali gue ketemu sama Fenly, Zweitson dan lo," jelas Anna.

Dari sorot mata Anna, Fajri dapat melihat kesedihan yang masih ia sembunyikan.

"Ikhlas itu bohong ya, Ji," ucap Anna tertunduk.

Fajri menghela napas, kini ia mulai mengerti kemana arah bicara gadis itu.

"Tapi ikhlas itu perlu, An. Karena lo nggak bisa terus berada di satu titik itu, lo juga harus berkembang seperti yang lain," kata Fajri,

"mengikhlaskan seseorang itu emang sulit, kalau di paksa secara langsung. Tapi, kalau mengikhlaskan perlahan, pasti itu akan mudah."

"Intinya?"

"Mengikhlaskan seseorang juga butuh proses, nggak bisa secara instan."

Anna menganggukan kepala mengerti, setidaknya ucapan Fajri barusan membuat ia sedikit lebih mengerti.

"Kenapa? Masih kepikiran Zweitson?" tebak Fajri.

Gadis itu menyunggingkan senyumnya, ia berbalik menatap ke bawah gedung.

"Beberapa minggu yang lalu, pikiran gue memang di penuhi Zweitson. Tapi, sekarang bukan dia," balas Anna.

"Siapa? Fiki?"

Anna menggelengkan kepalanya, sebelum akhirnya mengeluarkan suara. "Fenly."

Fajri mengerutkan keningnya, telinganya tidak salah dengarkan? Gadis itu tadi menyebutkan nama Fenly, kekasihnya?

"Kenapa lo ikhlasin dia? Bukannya hubungan kalian itu, baik-baik aja."

Anna berdeham, tersenyum sendu. "Baik-baik aja sih. Hanya saja, kita nggak berjodoh."

Fajri pun menoleh, menatap wajah Anna. Melihat senyuman Anna yang tidak seperti biasa, membuat ia mengurungkan niatnya untuk menanyakan banyak hal pada dia.

Sayap Pelindung 2 : Cerita yang belum usai [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang