DRIZELLA tiba di rumah jam 10 malam. Dirinya menghabiskan masa di officenya berfikir, mengelamun hingga dokumen yang ingin ditandatangani terbengkalai dan appointment juga gadis itu batal. Entah apa yang difikirnya saat ini
"Dari mana saja kau?" Tanya Ayahnya.
Langkah Drizella terhenti mendengar suara ayahnya yang memecah kesunyian hening malam.
"Zella dari office."
"Dari office." Zella mengangguk.
"Kalau satu hari ni kau berada di office kenapa semua appointment yang harus kau hadiri kau tidak datang. What goin on with you ?"
"Aku penat ayah. I need rest. If you want discuss about work...not this place. Rumah tempat rehat dan rasa nyaman bukan untuk merasakan stress seperti office." Tutur gadis cantik itu.
Syah Putra diam.
"Kalau begitu Zella naik atas dulu. Selamat malam."
Zella pun melangkah menuju ke tangga yang menyambungkan ruang tamu dan bilik itu. Ketika sampai lantai atas, mata Drizella tertuju ke arah pintu berwarna coklat di mana ibunya ditempati.
Zella membuka pintu itu lalu tersenyum melihat ibunya yang saat ini duduk dibalkoni. Zella melangkah mendekati sang ibu yang tidak menyadari kehadiranya.
Sampai saja Zella terus memeluk ibunya dari belakang hal itu sukses membuat Rania tersenyum lalu membelai halus tangan mulus Drizella.
"Ibu buat apa kat luar ni? Kan sejuk ibu."
Rania memegang tangan Drizella lalu membawa gadis cantik itu duduk di kerusi kosong. Anak beranak itu saling bertatapan.
Rania membelai halus pipi Drizella. Airmata Rania mengalir.
"Maafkan ibu yang selalu menggabaikan mu. Ibu, ibu yang tak guna. Ibu sepatut nya mengikhlaskan adik kamu."
Drizella memeluk sang ibu.
"Ibu tak salah. Ibu adalah wanita yang terbaik yang Zella miliki.... Zella cuma tidak suka jika ibu terus sedih...terus menangis..."
Zella menangis terisak.
Rania tahu ada yang tidak beres pada putrinya. Rania menatap wajah penuh airmata Drizella.
"Ada apa?" Tanya Rania. Drizella menggeleng.
"Zella baik saja ibu...."
Rania memegang kedua bahu Zella.
"Ibu yang melahirkan kamu nak. Ibu dapat rasakan putri ibu saat ini sedih. Ada apa nak?"
"Hardin..."
Rania tersenyum.
"Kamu harus bersabar sayang...kalau jodoh kamu Hardin pasti akan bersama..jika tidak kamu harus ikhlas."
"Zella tidak mahu kehilangan Hardin, ibu. Dia cinta pertama Zella...dia lelaki pertama yang mampu menggetarkan hati Zella, ibu. Jika Hardin bukan jodoh Zella apa aku mampu menerima cinta lain?"
Airmata Drizella makin deras mengalir.
"Ibu tahu putri ibu wanita yang kuat. Zella harus sabar menghadapi ujian perasaan. Ibu juga pernah dalam posisi kamu. Tapi pada akhirnya ibu bersama ayah kamu juga."
Rania tersenyum teringat kenangan manis nya bersama Syah Putra.
"Apa ibu akan terima jika ayah kahwin lagi?"
Rania senyum." Jika itu salah satu catatan takdir ibu dan ayahmu..ibu pasti ikhlas."
Pembicaraan itu pun berakhir. Anak beranak itu tidur bersama di satu katil.