***
"Mala, kamu jangan repot-repot bawa makanan kemari."
Mala tersenyum datar, dia tetap mengeluarkan beberapa toples berisi kue kering buatannya di meja makan. Ibunya tampak sibuk menenangkan si kecil yang terlihat habis menangis. Adik tirinya berumur 2 tahun, bernama Neta. Ibunya terus mengelus Neta yang masih menangis sampai terduduk di lantai. Mainan si kecil tampak berhamburan di ruangan tengah itu.
"Tidak merepotkan kok, Bu." Mala jongkok di depan ibunya, Irine. Dia ikut mengelus punggung Neta yang masih menangis itu. Mala tersenyum datar saat menyentuh adik tirinya. Awalnya, Mala keberatan, jika di umur 46 tahun ibunya hamil lagi. Sudah jelas ibunya pasti akan kesusahan mengurus anak kecil. Tapi, bukan hak Mala melarang ibunya untuk menikah dan hamil lagi.
"Neta, kakinya menginjak mainan ya, Sayang?" Irine masih berusaha menenangkan Neta. Dia menggendong Neta masuk ke kamarnya. Mala diam, Irine meninggalkannya sendirian di ruang tengah yang tidak terlalu besar itu. Mala hanya menggaruk lehernya, dia mengambil beberapa mainan Neta dan merapikannya.
Mala menatap beberapa foto yang terpajang di meja sudut, beberapa diantaranya foto pernikahan Irine dan ayah tirinya 3 tahun lalu. Mala tersenyum, hanya foto dirinya tidak terpajang di meja itu.
Ibu dan ayah kandung Nirmala bercerai 10 tahun yang lalu. Setelah 15 tahun, pernikahan ayahnya baru menyadari mereka sama sekali tidak cocok. Padahal, Mala tidak pernah melihat ayah dan ibunya bertengkar sekalipun.
"Mala akan tinggal dengan ibu. Jangan khawatir ibu akan menjagamu dengan baik."
Mala ingat, mata ibunya berkaca-kaca saat mengucapkan itu, jelas di raut wajah ibunya tidak menginginkan perceraian ini. Tapi ayahnya tetap bersikeras ingin bercerai. Saat itu Nirmala masih berumur 15 tahun, dia tidak mengerti. Mala bertanya-tanya apakah orang dewasa semudah itu bercerai dengan alasan tidak cocok?
Tiga tahun kemudian setelah resmi bercerai, mereka mengetahui ternyata ayahnya menikah lagi dengan Jamine, sahabat Irine. Hal itu, membuat ibunya sangat marah dan stres. Irine pun sering marah, memaki dan memukul Mala, tanpa ada ada alasan dan kesalahan yang Mala lakukan. Mala mencoba mengerti, ibu hanya melampiaskan kemarahannya karena dia sangat membenci ayahnya.
Ketika Mala sudah lulus sekolah, dia pun memutuskan untuk segera keluar dari rumah ibunya dan mulai mencari pekerjaan. Beruntungnya, ibunya masih sanggup membiayai dirinya masuk sekolah kejuruan. Sedang ayahnya? Mala tidak tahu Di mana ayahnya berada, hingga saat ini.
"Bagaimana bisnis toko kuemu?"
Mala menaruh sisa-sisa terakhir mainan Neta ke dalam kotak. Mala mengangkat wajahnya. Irine berdiri di depan pintu kamar, memandangi Mala dengan wajah dingin. Ibunya seperti enggan berbicara dengan Mala. Sama sekali tidak ada wajah seorang ibu yang merindukan anaknya.
"Semuanya lancar, Bu...untuk bayar tagihan pinjaman bank juga lancar. Kalau umurku panjang, 20 tahun lagi toko itu akan jadi milikku." Mala berdiri setelah mainan-mainan Neta bersih. Mala beranjak mengambil tasnya di meja makan.
Mereka berdua pun hanya terdiam. Tidak ada lagi bahan pembicaraan antara Mala dan ibunya. Mala memandangi tubuh Irine terlihat sangat kurus. Mala menenangkan dirinya, dia harus bersyukur Irine sudah menemukan pria yang menyayangi dan menjaganya. Walau pun di umurnya sekarang seharusnya Irine cukup bersantai saja tanpa repot mengurusi anak kecil.
"Aku pulang dulu, Bu. Kapan-kapan aku mampir lagi. Jangan lupa kue keringnya dicoba. Titip Salam buat ayah." Mala langsung beranjak menuju pintu keluar. Irine pun tidak berkata apa-apa lagi sampai Mala menutup pintunya.
Mala dengan gontai menyusuri lorong rumah susun itu. Kondisinya rumah susun itu sangat menyedihkan. Beberapa tetangganya bahkan memelihara ayam dan burung, padahal lorong itu sangat pengap. Mala menutup hidungnya saat melewati kandang ayam yang berjejer, tapi tetap saja hidungnya tidak mampu menahan bau yang kurang sedap itu.
"Permisi, Pak." Mala merendahkan badannya saat melewati sekelompok bapak-bapak yang sedang asik ngobrol dan minum kopi. Bapak-bapak itu menyahut Mala dengan sopan.
Mala menarik napas dengan lega saat dia keluar dari gerbang pintu rumah susun itu. Cahaya matahari tampak membuat dirinya lebih baik. Mala mengusap keringatnya yang meleleh turun dari dahinya. Dia sebenarnya khawatir apakah ibunya baik-baik saja tinggal di rumah susun kumuh seperti itu. Apakah kesehatan mereka terjaga? Tapi Mala harus sadar ibunya sudah bukan hidup sendiri lagi. Ibunya sudah memiliki keluarga sendiri.
"Loh, Mala?"
Mala terkejut, ayah tirinya tiba-tiba ada di belakangnya. Mala menatap ayah tirinya itu tampak sangat lusuh, dia membawa beberapa buah-buahan di dalam kantong plastik.
"Iy... iya ayah, saya balik pulang dulu ya."
"Kita tidak sempat mengobrol, apakah kamu sehat-sehat saja Mala?" tanya Ayah tirinya.
"Iya, saya baik-baik saja." Mala mengenggam tali tasnya. Ayah tirinya masih perduli padanya.
"Oh iya, bulan lalu ayah merasakan kue tart buatan Mala. Enak sekali. Pantas saja kamu buka usaha jualan kue. Terima kasih ya," puji ayah tirinya. Wajahnya terlihat berbinar, dia tampak sangat bangga dengan Mala.
"Ayah suka? tadi saya bawa kue kering, nastar dan keju. Semoga kalian suka." Mala bertambah semangat. Ayah tirinya mengangguk.
"Mala, ini bawalah buah buat kamu. Tidak banyak, tapi anggap saja ini oleh-oleh dari rumah." Ayah tiri Mala memberikan tas plastik berisi buah mangga dan jeruk itu, isinya memang tidak banyak.
"Ti... Tidak usah ayah, tidak ada yang makan nanti. Buat Neta saja, ya. Saya sudah cukup senang, melihat kalian sehat-sehat saja," jawab Mala. Ayah tirinya tampak ragu menurunkan buah-buahan yang dipegangnya itu.
"Hm... Ayah saya, pergi dulu. Nanti ketinggalan bus," Mala pamit.
"Hati-hati di jalan, Mala."
Mala tersenyum. Dia pun segera berlari menyebrang jalan. Mala melihat ayah tirinya melambaikan tangannya dari kejauhan. Mala membalasnya. Mungkin cukup menyedihkan, ibu kandungnya bahkan tidak menanyakan kabar dirinya atau mengkhawatirkannya. Mala sejujurnya senang, akhirnya ada yang perduli kepadanya, walau pun dia ayah tirinya.
Mala sengaja tidak akan mengambil buah-buah itu, ayahnya bukan orang yang punya uang untuk membeli sesuatu. Dia hanyalah buruh kasar di pasar. Yang Mala tidak mengerti, Irine pun sama sekali tidak mau tinggal dengannya ataupun menerima uang darinya, padahal Mala tidak keberatan membantu. Jadi terkadang Mala setiap bulannya membayar rumah susun itu secara diam-diam. Dia masih tidak mengerti kenapa ibu masih membencinya.
Bus yang ditunggu Mala pun telah berhenti di depannya. Mala berlari kecil untuk menaikinya. Kebetulan bus itu tidak terlalu ramai. Mala duduk di dekat jendela. Ditariknya napas panjang, dia tidak ingin stress setelah mengunjungi ibunya.
Mala mengambil ponselnya, suara pesan masuk. Mata Mala berbinar, ternyata ada beberapa orderan kue pesanan pelanggan dari Luna. Mala tersenyum senang.
***
Mei 09, 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Superior
RomanceNirmala Arumi Lingga atau Mala berteman dengan Toni Sambara pria 70 tahun. Toni mengutarakan keinginannya agar Mala bisa membantunya melakukan sebuah kebohongan untuk berpura-pura menjadi tunangan Toni. Toni yang sakit keras, mempunyai keinginan ter...