***
"Maaf, pak Toni. Saya masih tidak mengerti dengan pembicaraan ini, maksudnya saya harus berpura-pura?" Mala mencoba mencerna apa yang Toni sampaikan kepadanya. Ternyata pembicaraan serius di sore hari itu, sangat susah dimengerti dengan akal sehat.
"Maaf, mungkin saya masih merasa lelah," sambung Mala sambil meminum teh di tangannya. Menjelang sore, tentu saja Mala sudah kelelahan dengan banyaknya pesanan kue ditambah lagi dengan cuaca yang membuat dirinya sangat ngantuk.
Toni hanya tersenyum, dia tahu permintaannya sangat aneh. Tetapi Toni benar-benar bersikukuh memerlukan Mala. Toni menjelaskan sekali lagi kepada Mala, tentang maksud kedatangannya untuk berbicara serius sore itu.
"Mala, aku ingin kamu menolongku. Aku mau kamu membantuku untuk berpura-pura menjadi tunanganku." Toni mengulang kata-katanya lagi.
"... Kenapa? Maafkan saya tapi menurut saya itu adalah hal yang konyol." Mala masih tidak percaya apa yang diutarakan oleh Toni.
Toni mengerti saat melihat kerut di dahi Mala, ekspresi mata Mala mulai tidak menyukai pembicaraan ini. Mala memainkan jari-jari tangannya, dia gugup dan takut. Lui hanya diam, dia duduk di meja sebelah mereka sambil menikmati Kopi.
"Mala, dengarkan aku. Aku yakin, hanya kamu yang bisa membantuku. Soal imbalan, apa pun yang kamu minta, aku akan berikan."
Imbalan? Bukan soal itu. Mala melipat tangannya. Dia mencoba lebih fokus dan mencerna apa yang Toni jelaskan kepadanya. Mengapa pak Toni meminta dirinya untuk melakukan kebohongan?
"Pak Toni, apa alasannya saya harus berpura-pura? Untuk anakmu?" Ekspresi Mala tegas membalas wajah Toni yang serius itu.
"Benar Mala, ini demi aku bisa bertemu dengan anak lelakiku..."
"... Anak lelaki? Pak Toni, kalau ini masalah keluarga... maafkan saya, saya tidak bisa ikut campur," Mala memotong pembicaraan, dia tidak mau mendengar lebih lanjut. Toni pun terdiam. Tapi Mala memang benar, masalah ini memang bukan urusannya.
"Penyakit tuan Toni sudah sangat berat dan dokter pun tidak dapat memprediksi apakah tuan Toni berumur lebih lama lagi...." Lui menyambung pembicaraan.
Mala tahu itu, lalu untuk apa dirinya berpura-pura demi tuan Toni bertemu anaknya?
"Masalahnya, kalau orang tua kita sudah sakit keras seperti ini, setidaknya seorang anak datang menjenguknya. Kenyataannya sudah hampir 10 tahun, tuan Hydan tidak pernah datang. Dia begitu membenci tuan Toni. Tuan Hydan tidak sudah perduli." Lui menopang dagunya, dia melirik ke arah Toni yang tampaknya sudah tidak bisa berkata-kata untuk merayu Mala.
"Apa alasannya anak pak Toni melakukan itu? Apa ada anak sampai membenci orang tuanya?" tanya Mala tertegun.
Sekali lagi, Lui melirik ke arah Toni. Dia tidak tahu, apakah majikannya itu menyetujui dia menceritakan alasan Hydan membencinya.
"Apakah kamu tidak membenci ayahmu?" tanya Toni.
"Tentu saja tidak, saya juga tidak tahu apa alasannya saya tidak membenci ayah saya. Tapi bagaimana pun kejelekan orang tua saya, mereka tetap ayah dan ibu saya," jawab Mala.
Toni menghela napas. Mala memang terlalu baik, batin Toni.
"Saya turut bersedih soal anak bapak. Tapi sangat tidak masuk akal, jika harus ada wanita berpura-pura bertunangan agar anaknya pulang. Saya masih tidak mengerti," ujar Mala. Toni tersenyum dingin, dia memang harus menceritakan semuanya kepada Mala.
"Mala, ada kesalahan yang pernah aku buat di masa lalu. Di saat, aku masih muda dan sehat, Hydan pun masih polos saat itu." Toni melirik ke arah Lui yang meminum kopinya dengan tenang.
