"Puas!?"
Brandon menatap tak mengerti ke arah Ansel. Mendengar kenyataan pahit barusan tidak membuat air mata lelaki itu meluruh berbeda dengan si dominan yang kedua matanya sudah memerah.
"Pergi!" Ansel kemudian mendorong kursi rodanya untuk keluar dari ruangan itu. Lelaki itu menghiraukan keberadaan Brandon yang sengaja terus mengajaknya bicara. Lihatlah! Banyak kalimat yang keluar dari mulutnya tapi satu kata maaf pun tidak terucap.
"Brandon, jahitan di perut gue masih basah dan tolong jangan buat gue teriak ke arah lo. Mending sekarang lo pergi!" usir Ansel dengan nada tercekat. Kehilangan seorang anak adalah duka yang sangat besar bagi seorang ibu. Apalagi saat mengingat jika jasad anaknya sudah dikremasi bahkan sebelum dia membuka matanya. Brandon yang meninggalkannya dan sekarang pria itu yang memutuskan semuanya seolah dialah pahlawan di balik masalah yang menimpa Ansel.
Tanpa menunggu lebih lama, Ansel membuka ruang rawatnya kemudian menutupnya dengan kasar dan detik itu juga tangisannya langsung pecah. Lelaki itu meraung keras dengan masih duduk di kursi roda.
Bohong jika Brandon yang berada di luar tidak mendengar raungan itu, tapi sekali lagi jika dirinya memaksa masuk maka semuanya akan lebih kacau. Bukan tanpa alasan dia mengkremasi anaknya secepat itu, kondisi jasadnya yang sudah memprihatinkan hingga membuat Brandon langsung mengangguk saat dokter menyuruh mempercepat proses kembali ke alam itu. Bahkan Dikta yang tau pun seketika membogem wajah Brandon dan dengan bantuan dokter yang ikut menjelaskan akhirnya lelaki itu paham.
Pria itu langsung berbalik pergi.
Dikta kembali menghela napas saat melihat kondisi Ansel yang kembali termenung di atas ranjang rumah sakit.
Tepat hari ini karena kondisi Ansel yang semakin membaik membuat lelaki itu diperbolehkan pulang oleh dokter, tetapi tidak untuk si bayi yang harus tetap di inkubator dikarenakan kondisi tubuhnya yang masih rentan.
"Ayo! Malvin udah nunggu di parkiran." Dikta mengulurkan tangannya guna membantu Ansel untuk berjalan. Ansel pun tidak terlihat menolak.
Di perjalanan menuju parkiran rumah sakit baik Dikta ataupun Ansel tidak ada yang membuka suara. Berulang kali juga Dikta mencuri-curi pandang ke arah Ansel yang masih memandang depan dengan tatapan kosong. Kehilangan seorang anak membuat Ansel malah melupakan anak satunya dan hal ini tidak boleh dibiarkan. Setelah keadaan sedikit membaik, wajib hukumnya untuk Dikta menegur temannya itu.
++
Hari kelima setelah kepulangan Ansel dan tampaknya lelaki itu mulai mengikhlaskan kepergian salah satu bayinya. Dirinya juga mulai bisa kembali tersenyum dan merespon jika Dikta atau Malvin mengajaknya berbicara.
"Ansel."
Lelaki itu langsung mendongak dan terlihat Dikta muncul dari balik pintu kamar. "Iya?"
"Ada yang mau ketemu sama elo."
Raut wajah Ansel seketika berubah saat mendengar ucapan barusan. Senyuman di bibirnya langsung luntur dan sorot matanya berubah datar. "Usir! Gue ngga mau ketemu dia." Setelahnya Ansel kembali fokus pada buku tentang Panduan menjadi orangtua di tangannya.
"Tapi lo kan belum tau siapa-"
"Brandon kan?" potong Ansel tanpa memutuskan fokusnya pada barisan kalimat di buku. ".... Oh iya gue minta tolong sama lo tolong bilang ke dia jangan lagi datang ke sini karna percuma sampe kapanpun gue ngga akan mau nemuin dia lagi."
![](https://img.wattpad.com/cover/299833005-288-k458308.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
FAMOUS [✓]
Fantasy[BL] [MPREG] "Lo masih mau berhubungan sama gue?" "Lo diem." "Mau bagaimanapun sikap gue ya lo harus terima dan cukup diem. Gausah komentar! Tapi kalo lo emang ngga bisa ya gampang, putus selesai." Brandon kembali berkata dengan nada yang super sant...