Ansel yang sedang mencuci tangan di wastafel, secara perlahan melirik ke arah beberapa cowok yang tampak tengah menatapnya dalam diam. Awalnya, Ansel bisa bersikap biasa saja tapi lama-lama dia juga risih. Alhasil, dia langsung berbalik setelah mematikan keran wastafel.
"Kenapa lo pada ngeliatin gue?" tanya Ansel sambil menatap tiga cowok itu secara bergantian.
Ketiga cowok itu saling bertatapan sebelum melangkah pergi, tidak mengacuhkan pertanyaan Ansel. Mendapati itu tentu membuat Ansel luar biasa kesal.
Ansel berusaha mengabaikan kekesalannya dan memilih bergegas ke kantin untuk mengisi perut. Karena mengejar cinta Brandon, memerlukan amunisi yang lebih dari cukup.
Di kantin, Ansel langsung memesan semangkuk seblak level jontor dan es jeruk kunci. Setelah pesanannya selesai dibuat, dia membawa nampan untuk mencari bangku kosong. Ansel berhenti sebentar dengan mata yang menjelajah ke penjuru arah. Helaan napas terdengar samar dari bilah bibirnya saat melihat kantin luar biasa penuh.
"Masa iya lesehan di lantai," bisik Ansel dengan nada sangat pelan. Tak berselang lama, sebuah suara yang memanggil namanya mengalun nyaring memecah kebisingan di kantin. Ansel menoleh dan mendapati Davika tengah melambaikan tangan ke arahnya.
Jujur, Ansel sangat tidak sudi berbagi meja dengan cewek itu. Namun saat matanya tak kunjung melihat bangku kosong, membuat dia mau tak mau melangkahkan kaki ke arah Davika yang sejak tadi terus menyunggingkan senyum lebar.
"Sini-sini!" Davika mempersilakan Ansel duduk.
Ansel memutar bola mata malas dan kemudian duduk agak jauh dari Davika. Tapi bukan Davika namanya jika membiarkan hal itu terjadi. Cewek berambut cokelat itu lantas memutar meja untuk duduk di samping Ansel.
"Ngapain lo duduk di sini?" tanya Ansel dengan menunjukkan raut terganggu secara terang-terangan.
"Ya nggak pa-pa. Pengen aja," sahut Davika santai. Dia terlihat bodo amat dengan raut Ansel yang jauh dari kata ramah.
Pada akhirnya, Ansel memilih diam dan segera menyantap seblaknya.
"Ansel ...."
Ansel hampir tersedak saat dengan tiba-tiba Davika merapatkan tubuh hingga lengan keduanya menempel. Ansel refleks bergeser dan ...
BRUGH!
Mata Ansel terpejam saat bokongnya mendarat di lantai dengan posisi yang cukup epik. Ia tidak sadar jika tadi dirinya sudah duduk di posisi paling ujung kursi.
Alhasil, insiden itu ditonton oleh puluhan mata secara live.
"Eh!" Davika bangkit untuk menolong Ansel tetapi uluran tangannya langsung ditepis oleh cowok itu.
Ansel berdiri sembari mati-matian menahan rasa nyeri di bokong sintalnya. "Lo tuh apa-apaan, sih?!" Tatapan Ansel berubah nyalang, menyorot ke arah Davika.
"Apa? Emang gue kenapa? Gue nggak ngelakuin apa-apa, Ansel." Davika menjawab dengan raut tanpa dosa.
"Lo sengaja nempel-nempel, kan?!" tuduh Ansel lagi.
Davika langsung diam.
Nafsu makan Ansel seketika hilang ditelan alam. Dengan napas memburu, Ansel tanpa sadar memgacungkan jari telunjuk pada Davika. "Tolong jaga sikap lo, Dav! Gue risih." Ansel langsung pergi begitu saja, meninggalkan seblak yang baru dimakan dua suap serta es jeruk kunci yang masih utuh.
Kejadian itu sukses merebut atensi hampir seluruh pengunjung kantin. Begitu pun dengan Brandon yang baru saja muncul di pintu kantin. Cowok tinggi itu langsung melipir saat Ansel berjalan melewatinya dengan langkah lebar. Kening Brandon mengerut saat menyadari Ansel tidak 'menggila'. Ansel lewat begitu saja seolah sama sekali tidak mengenalnya.
Mendapati itu, Brandon tersenyum tanpa sadar. Sepertinya, mimpi buruknya sudah berakhir.
****Ansel langsung menyembunyikan wajahnya pada lipatan tangan. Saat ini, ia sedang berada di kelasnya yang untungnya tidak ada orang kecuali dirinya sendiri.
"Anj, gue malu banget, bangsat!" Ansel mengumpat ketika teringat insiden memalukan tadi. Ini jauh lebih memalukan dibanding ia yang ditolak Brandon secara terang-terangan. Mengingat Brandon, Ansel langsung mematung. Dia mengangkat wajahnya seraya mengingat sesuatu. "Tadi yang di pintu kantin Brandon, kah?" monolognya karena merasa familiar dengan aroma parfum seseorang.
"Brandon liat gue jatuh nggak, ya?" monolog Ansel lagi seraya menangkup pipinya. "Aduh, kalo iya, gue malu banget lagi." Tubuh Ansel langsung bergerak gelisah di kursinya. Tanpa sadar, ia menggigit kukunya dengan wajah yang memerah.
Dan Ansel seketika merubah ekspresi saat beberapa teman sekelasnya berjalan masuk. Cowok itu langsung memasang raut datar ketika menyadari tatapan orang-orang itu menyorot ke arahnya sambil berbisik-bisik. Pasti mereka sedang membahas insiden Ansel jatuh di kantin tadi.
"Coba berdiri, Sel!" ucap salah satu siswa yang baru masuk itu.
Ansel sontak mendelik. "Ngapain?"
"Meriksa bokong lo, apa langsung tepos gara-gara kejedot keramik kantin tadi." Setelahnya, mereka berempat langsung tertawa, berbanding terbalik dengan wajah Ansel yang langsung berubah muram.
Ansel yang kepalang kesal langsung melepas salah satu sepatu dan melemparkannya ke kumpulan siswa itu.
Keempat cowok itu langsung menghindar yang alhasil membuat sepatu Ansel melayang melewati jendela kelas dan jatuh di area taman belakang. Merasa jika amukan Ansel akan tumpah membuat mereka seketika berlari keluar kelas.
Ansel tidak memiliki tenaga untuk berteriak dan beranjak menuju jendela untuk mengecek posisi sepatunya jatuh. Helaan napas terdengar dari bilah bibirnya ketika melihat sepatu putihnya nyangkut di pot bunga mawar. Mau tak mau ia harus mengambilnya.
Ansel memilih melepas satu sepatunya; hanya memakai kaos kaki dan berjalan dengan langkah cepat menuju taman belakang. Di sepanjang koridor, beberapa murid masih menatap Ansel secara terang-terangan. Entahlah, sejak cowok itu mendekati Brandon, mendadak ia seolah menjadi public enemy yang sering mendapat tatapan sinis tanpa sebab.
Ya ... mungkin mereka iri pada Ansel yang memiliki keberanian untuk mengejar Brandon secara terang-terangan, berbeda dengan mereka-mereka yang gengsian dan akhirnya memilih suka dalam diam.
Sesampainya di taman belakang, Ansel celingukan mencari letak keberadaan sebelah sepatunya. Kalau tidak teringat uang bulanan dari Mamanya yang menipis, Ansel pasti sudah mengikhlaskan sepatu di dalam pot itu.
"Ah, itu dia ...." Mata sipit Ansel sedikit berbinar saat melihat sepatunya. Ia langsung mengambilnya dan bergegas kembali ke kelas, sebelum langkahnya tiba-tiba terhenti ketika melihat keberadaan dua orang yang sangat ia kenali tampak sedang berbincang di dekat gudang. Kebetulan, gudang sekolah terletak di area taman belakang.
Mata sipit itu semakin menyipit untuk melihat lebih cermat. Ansel hanya memastikan apakah dia tidak salah lihat. Dirasa penglihatannya sesuai, Ansel tidak bisa untuk tidak heran. Cowok itu lantas melipir untuk bersembunyi. Dia akan kembali ke kelas setelah kedua orang itu selesai berbicara.
Ansel mati-matian menahan keinginan untuk tidak menghampiri mereka, meskipun rasa penasarannya semakin melambung tinggi hingga membuatnya sedikit pening.
Satu hal yang terus berputar di otak Ansel adalah sejak kapan kedua orang itu akrab?
****

KAMU SEDANG MEMBACA
FAMOUS [✓]
Fantasy[BL] [MPREG] "Lo masih mau berhubungan sama gue?" "Lo diem." "Mau bagaimanapun sikap gue ya lo harus terima dan cukup diem. Gausah komentar! Tapi kalo lo emang ngga bisa ya gampang, putus selesai." Brandon kembali berkata dengan nada yang super sant...