Setelah berdebat panjang dengan ibunya, Ansel segera kembali ke dalam kamarnya. Padahal lelaki itu sangat malas untuk menginap di sana, jika tidak mengingat kondisinya sekarang pasti Ansel memilih untuk pulang ke apartment yang berjarak tiga puluh menit dari rumah ibunya.
Setelah memastikan pintunya terkunci rapat, barulah Ansel menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur king size. Bukan tanpa alasan dia melakukan itu, mengingat jika sekarang dia tinggal satu atap bersama si tua bangka dan hal itu tentu saja membuatnya harus extra hati-hati. Sembari menerawang, tangan Ansel tak lupa terus mengelus perut buncitnya.
Untung saja setelah pulang dari rumah Brandon saat itu, Ansel berhenti di salah satu pusat perbelanjaan untuk memborong banyak hoodie serta baju oversize, hal itu semata-mata dia lakukan untuk melindungi kedua anaknya. Sekarang Ansel yakin cukup dia dan Tuhan yang tau keadaan ini.
Lamunan Ansel terpecah saat tiba-tiba hujan turun dengan sangat deras. Dari sela gorden kamar, lelaki itu dapat melihat betapa kacaunya kondisi di luar sana. Suasana dingin serta nyaman perlahan membuat mata Ansel memberat sebelum rasa kantuk itu akhirnya merenggut kesadarannya.
++
"Lo kenapa dah?"
Brandon menghiraukan pertanyaan itu. Karena setiap dia ingin membuka mulut untuk berbicara pasti dirinya akan kembali muntah. Terhitung sudah hampir dua minggu dia mengalami ini dan entah berapa dokter yang ia temui tetapi tetap saja seluruh resep obat yang para dokter itu berikan sama sekali tidak berefek.
"Jen, Brandon kenapa?" Valena yang baru kembali, lantas melangkah mendekati Brandon.
Jeno; pria yang dipanggil Valena barusan, lantas menggeleng. "Gatau gue. Lagi enak-enak makan tiba-tiba si Brandon muntah lagi." Jeno mengalihkan pandangannya kembali menatap Brandon, temannya. "Obat kemaren belom lo minum?"
Butuh beberapa detik sebelum Brandon menjawab. "Sengaja ngga gue minum."
"Kenapa?" Valena ikut bertanya.
"Percuma. Mau minum sebanyak apapun tetep ngga berefek sama sekali, malah rasa mual gue kian menjadi."
Raut bingung terlihat kentara di wajah Valena dan Jeno. Akhirnya mereka berdua menyusul Brandon yang sudah melangkah kembali menuju sofa.
Berada di dekat Valena entah kenapa membuat Brandon tiba-tiba merasa pusing.
"Lo mau apa?" tanya Valena sembari mengeluarkan sesuatu dari dalam tas belanja.
"Ansel."
Hening.
Suasana berubah sangat hening saat Brandon membawa nama Ansel. Begitu juga dengan Brandon yang langsung meremat rambutnya karena bagaimana bisa dia keceplosan barusan.
"Kok jadi Ansel sih?"
Merasa malas untuk menjawab, Brandon lantas bangkit dan meraih kunci mobilnya di meja. "Gue balik dulu."
Selepas kepergian Brandon, Jeno dan Valena kini saling tatap.
Brandon menutup pintu kamarnya dengan bantingan. Sembari mengusak rambutnya kasar, pria itu segera melangkah menuju walk in closet dan mengobrak abrik hingga sesuatu yang dicarinya kini berada di tangannya. Dengan cepat dia lantas menjatuhkan dirinya ke kasur lalu sesuatu berupa baju itu langsung ia benamkan di wajahnya. Aroma lembut khas seorang Ansel menyeruak di indra penciumannya dan hal itu membuat rasa mualnya tiba-tiba berkurang. Walaupun itu terasa sangat aneh tapi untuk sekarang Brandon tidak perduli, karena yang ia perdulikan hanyalah berbaring seharian di kasur sambil memeluk guling yang akan ia lapisi dengan baju milik mantan pacarnya itu.
++
Hidup sebagai seseorang yang terkenal membuat Ansel merasa tidak nyaman sekarang. Jika dulu dia memilih pekerjaan lain pasti sekarang dirinya tidak perlu khawatir untuk keluar dari apartment. Belajar dari kejadian beberapa hari yang lalu, saat dia diam-diam membeli susu hamil di minimarket yang letaknya agak jauh dari tempatnya tinggal dan karena hal itu dirinya hampir ketahuan oleh seseorang. Bukan Ansel ingin menjadi pengecut dengan sembunyi, tetapi sekarang tanggung jawabnya jadi berlipat.
Ansel menatap layar hp nya dengan sendu. Dirinya menatap jam yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Jika dulu di waktu saat ini, Brandon selalu mengiriminya pesan dan sekarang... tentu saja tidak lagi.
Lelaki mungil itu melirik ke pojok kamarnya yang terdapat beberapa koper besar.
Ansel berniat melarikan diri. Bukan tanpa alasan dia melakukan itu, keinginannya sekarang hanya satu yaitu melindungi kedua calon anaknya dan juga dirinya masih belum siap jika harus menerima banyak hujatan saat rahasianya terbongkar. Menjadi penyuka sesama jenis saja itu menggelikan bagi sebagian orang apalagi saat mereka semua tau jika lelaki tulen sepertinya bisa mengandung. Sebelumnya juga dia sudah menghubungi sang manajer dan perusahaan yang menaunginya, dengan beberapa alasan yang lima puluh persen Ansel karang sendiri dan entah bagaimana bisa akhirnya mereka semua setuju dengan satu syarat Ansel harus tetap kembali ke dunia yang sudah membesarkan namanya itu. Sekarang lelaki berbadan dua itu merasa bahwa dirinya benar-benar asing di antara miliaran penduduk di muka bumi ini.
"It's okay," gumam Ansel yang selalu menyemangati dirinya sendiri saat merasa sangat lelah. Lelah dengan keadaan. Jika bukan diri sendiri lalu siapa lagi yang akan melakukan itu.
Ansel mulai membaringkan tubuhnya yang sekarang sering merasa pegal. Sembari mengelus perutnya, pikiran Ansel kembali menerawang. Tanpa sadar lelaki itu menggigit bibirnya saat pikiran buruk terus muncul di kepalanya hingga lamunannya terhenti saat telinganya mendengar ada langkah kaki samar di luar kamar. Ansel mematung sejenak, sebelum lelaki hamil itu perlahan turun dari ranjang dan berjalan perlahan ke pintu kamar.
"AAAAA!" Ansel reflek berteriak saat pintu kamarnya tiba-tiba terbuka dan menampakkan satu sosok yang sangat diharapkan oleh lelaki mungil itu.
Tanpa aba-aba, sosok itu lantas menghambur memeluk tubuh kecil Ansel dengan erat. Ansel sedikit menggeliat saat Brandon menenggelamkan wajahnya di lehernya. Deru napas pria itu sedikit membuat Ansel kegelian.
Jujur Ansel tidak paham dengan kejadian sekarang. Saat Brandon yang notabene nya sudah menjadi mantan pacarnya tiba-tiba datang dan tanpa bicara apapun, pria itu malah memeluknya dengan sangat erat hingga membuat perutnya sedikit nyeri.
Beberapa menit kemudian, pelukan itu kian melonggar hingga akhirnya terlepas. Baik Ansel ataupun Brandon tidak ada yang mengeluarkan suara dan keheningan lantas mengambil alih keduanya.
"Lo.... sakit?"
Dahi Ansel mengernyit. Sakit?
"Perut lo keras dan...." Brandon menjeda ucapannya lalu tatapan tajam pria itu beralih ke perut Ansel.
Walaupun saat ini Ansel memakai kemeja oversize yang cukup menyamarkan bentuk perutnya, tetapi rasa takut sekaligus tegang kembali merasuk ke dalam dirinya.
Tidak. Brandon tidak boleh tau tentang hal ini. Ansel bersumpah jika dirinya belum siap untuk mendapat penolakan dari Brandon. Ya, walaupun dengan datang tiba-tiba ke apartment nya saat tengah malam itu juga mencurigakan mengingat keduanya sekarang sudah tidak memiliki hubungan apapun lagi.
Dan satu hal yang membuat Ansel bertahan untuk tutup mulut adalah karena dia tau jika pria di depannya itu beberapa kali sering membagi tubuhnya dengan seorang wanita yaitu Valena.
++
Hai gaiseu

KAMU SEDANG MEMBACA
FAMOUS [✓]
Fantezie[BL] [MPREG] "Lo masih mau berhubungan sama gue?" "Lo diem." "Mau bagaimanapun sikap gue ya lo harus terima dan cukup diem. Gausah komentar! Tapi kalo lo emang ngga bisa ya gampang, putus selesai." Brandon kembali berkata dengan nada yang super sant...