"Sayang jangan gitu ngomongnya," kata gue ke Bara yang baru aja nyeletuk kasar waktu lihat chat dari Bang Ahmad.
Gue ambil tangan Bara, terus genggam erat. Usap-usap punggung telapak tangannya biar emosinya reda.
Gue paham.
Paham banget sama kemarahan Bara. Cuma ya jangan di sini juga dia ngelampiasinnya. Biar gimanapun, gue sama Bara masih ada di rumah gue.
Gue nggak mau kalau sampai orang tua gue denger dan ngira kalau Bara ngatain gue. Pun yang nggak mungkin kita cerita soal permasalahan yang ada ke mereka.
Gue nggak pengen aja Bara dapet cap jelek di mata orang tua gue.
"Sorry..."
Gue lemparin senyum kecil gue Bara.
"Nggak apa-apa kalau marah. Tapi jangan ngomong kasar di sini ya? Nggak enak kalau kedengeran sama orang rumah." Kata gue coba ngasih pengertian ke Bara.
Untungnya Bara ngerti. Dia anggukin kepalanya, terus coba tarik napas dalem-dalem. Salah satu cara Bara ngendaliin emosi sama marahnya ya gitu.
"Lihat aja dia besok gua samperin!" ucap Bara setelah emosinya agak reda.
Ngomongnya sih pake nada bicara pelan. Tapi cukup mengintimidasi juga. Kelihatan kalau Bara nahan kesel.
"Mau kamu apain?"
"Pukul. Kalau cuma kata-kata, aku nggak akan puas."
"Kalau nanti dia bales pukul kamu?"
"Go ahead. Aku nggak takut."
"Kalau nanti dia lapor komdis atau polisi?" tanya gue lagi.
Bara mendadak diem. Nggak langsung jawab kayak sebelumnya. Tapi itu nggak lama, karena sepersekian detik kemudian Bara langsung buka suara lagi.
"Bayar pake uang jaminan?" ucap Bara kelihatan agak ragu.
Gue berdecak.
Ini bukan Bara banget. Dan gue nggak mau cuma karena gue, Bara sampe berurusan sama polisi.
"Aku ikut ya!" kata gue ke Bara.
Gue nggak mau larang Bara buat ngelabrak Bang Ahmad. Meski dia senior gue sama Bara, tapi tindakannya barusan itu emang nggak sopan.
Kalaupun cuma sekedar mau ngajak temenan, masa iya sampe bawa-bawa Bara. Nyuruh supaya gue nggak bilang ke Bara.
Apa-apaan???
Ya kali gue nurut???
Emang lu siapeeee?