"Bara?"
"Iya? Kenapa, Ta?"
"Tasnya sini."
"Aku aja yang bawa, katanya tadi tangannya sakit?"
"Ya, iya. Tapi nggak sesakit itu sampe nggak bisa bawa tas sendiri. Sini!" pinta gue ke Bara yang sekarang udah nutup pintu mobilnya dan mulai jalan ke arah gue.
"Nggak usah. Dah jangan ngeyel!" kata Bara sambil tarik ujung hidung gue. "Nanti ngeluh lagi kalau sakit."
"Oh, jadi lo nggak suka kalau gue ngeluh?" tanya gue dengan nada sebel ke Bara sambil bersedekap.
"Berantemnya nanti aja, sayang. Mending sekarang kita ke dalem dulu buat ambil tempat," sahut Bara sambil lingkarin tangan kirinya di bahu gue. Masih dengan posisi tas tangan gue yang bergantung manis di tangan kanan Bara.
Bukan apa-apa, gue kasian lihat Bara yang harus bawa tas perempuan kayak gitu. Ya emang Baranya nggak keberatan. Tapi tetep aja gue nggak enak dan nggak mau kalau Bara sampe dapet cap macem-macem hanya karena bawain tas gue.
Cap bucin misal. Atau bulol terparahnya.
Tadi aja pas di kampus, dia sempet diledek sama Gundala. Gundala ngatain Bara udah kayak personal assistant gue hanya karena dia lihat Bara bantuin gue bawa tas dan beberapa barang.
Padahal kalau bukan karena tangan gue lagi sakit; akibat kepleset di depan kamar mandi dan tangan gue ngehantem lantai keras banget sampe memar, gue nggak akan biarinin Bara bawain tas sama barang-barang bawaan gue buat ngampus tadi.
"Lo nggak malu apa bawa tas perempuan begitu?" tanya gue yang pasrah aja diajak Bara masuk ke area dimana bakal berlangsung acara pertunjukkan musik di salah satu mall ternama. Kebetulan musisi-musisi yang dateng tuh yang lagunya biasa didenger gue sama Bara.
"Enggak. Gini doang masa malu, Ta?" tanya Bara balik sambil usap-usap lengan kiri gue yang dia dekap.
"Tapi-"
"Lagian, bokap juga biasa bawain tas nyokap kalau kita pergi kemana-mana."
Sering main ke rumah Bara bikin gue jadi sering ketemu sama orang tuanya. Termasuk ayahnya Bara. Dan yeah, Bara itu beneran duplikat ayahnya banget. Kata ibunya Bara sih, Bara emang deket banget sama ayahnya. Terus Bara juga emang jadiin ayahnya panutan. Dari cara ngomong, berpikir, sampai ke cara Bara memperlakukan orang lain, termasuk gue.
Sadar atau nggak sadar, Bara itu selalu niru apa yang ayahnya lakuin.
"Ya wajar dong. 'Kan mereka suami istri. Sementara kita bukan."
"Belum, Ta."
"Hah?"
"Iya. Belum suami istri. Bukannya bukan."