Pengungsian Manusia

17 2 0
                                    

Malam yang begitu dingin, salju masih saja menutupi tanah, udara yang seolah membeku membuat paru paru kami ikut membeku.

Langkah kami yang tak lagi kuat membuat kami tidak bisa melanjutkan perjalanan.

Kami tersesat, tidak tau arah jalan pulang atau bahkan dimana kami berada.

Yang ada di pikiranku hanyalah makanan, buku harian dan mengenai siklus bulan itu.

Satu demi satu kami mulia tumbang, tak sanggup melanjutkan perjalanan.

Kedinginan, lemas dan mengantuk kami rasakan selama perjalanan tanpa ujung ini.

Ray mulai sempoyongan ketika menggendongku, bahkan ia hampir menjatuhkan ku dari gendongannya.

Ingin sekali aku berpikir dan mencari cara seperti biasanya, tapi, sepertinya otakku ikut membeku hingga tak mau berpikir sedikitpun.

Tapi, tiba tiba saja aku teringat sesuatu.

"Dio, tolong lihatlah masa depan kami semua" pintaku

"Akan kucoba"

Dio memejamkan kedua matanya dan berhenti berjalan.

"Sebuah rumah gubuk dengan beberapa anak kecil maupun remaja dan beberapa orang dewasa, dan seorang kakek tua yang menyambut kita" Dio menjelaskan sesuatu

"Dimengerti! Kalau begitu, kita akan istirahat di bawah pohon sana" aku menunjuk kearah sebuah pohon yang rindang di depan sana

"Apa kau yakin itu tempat aman?" Tanya Mika

"Tidak ada tempat teraman di dunia ini, Mika. Tapi setidaknya kita akan berusaha melindungi diri kita masing masing. Kita akan berjaga bergantian saja"

"Apa katamu saja" ujar Mika pasrah.

Aku tersenyum kecil pada Mika. Karena diriku sudah merasa lega, kedua tanganku yang sudah sangat lemas langsung terlepas dari pegangan Ray.

Aku pun terjatuh dari gendongan Ray keatas tumpukan salju dibawah.

Beberapa saat kemudian, kedua mataku pun tertutup dan aku tak sadarkan diri.

Hangat.....

Kata itu langsung terpikirkan olehku pertama kalinya, aku merasakan kehangatan dan kelembutan.

Ada beberapa aroma makanan yang enak disini, dan, aku bisa mencium aroma bakso yang begitu enak.

Aroma kuah kaldu yang kental bercampur dengan rempah rempah ini, aku langsung mengenalnya, aroma soto.

Perlahan lahan kubuka kedua mataku untuk melihat apakah penciumanku bekerja dengan baik atau tidak.

Hal pertama yang menyambutku adalah atap yang terlihat terbuat dari anyaman bambu beserta kayu bambu itu sendiri.

Dapat kurasakan hangatnya selimut di kakiku, serta terdengar suara kayu yang dibakar.

Aku melihat kearah sekitar untuk memastikan aku sedang ada dimana.

Sebuah ruangan yang tidak terlalu besar, dengan sebuah meja yang berisikan berbagai macam lauk, lengkap dengan nasinya yang masih mengeluarkan uap panas.

Boleh dimakan?

Aku ingin sekali langsung melahap semuanya, tapi aku tidak tau itu punya siapa atau bahkan kenapa.

"Silahkan makan sepuasnya"

Aku reflek berteriak dan terjatuh dari atas kasur ketika mendengar suara seorang kakek tua.

Real Or Myth? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang