BAB 39. HATI - HATI DI TIKUNGAN

307 75 25
                                    

SORRY INGKAR UNTUK UPDATE, KARENA LAGI BANYAK ACARA DI KAMPUS.

SEMOGA MENGOBATI RASA RINDUNYA YA, SILAKAN VOTE DAN KOMEN.

@ptr.wulansr_
@bulansipit.wp

H A P P Y R E A D I N G
______________________________

"Sayang itu membahagiakan, tapi terkadang terlalu sayang juga menyakitkan. Lantas hati ini harus bagaimana menyikapinya?"

***

"PAK SEBENTAR, JANGAN DI TUTUP GERBANGNYA," Nara berteriak kencang memanggil Satpam SMA Cakrawala yang menjaga gerbang sekolah yang hendak ah bukan, maksudnya hampir menutup gerbang sekolahnya.

"Lima, empat, tiga, dua... satu,"

Gerbang tertutup bersamaan dengan langkah kaki Nara yang baru saja sampai. Rasanya seperti sia-sia pagi ini berlari kencang pada nyatanya gerbang itu sudah lebih dulu di tutup.

"Maaf neng, telat satu detik." ujar Satpam itu.

Nara menetralkan deru napasnya yang masih memburu, ia menatap Satpam itu dengan wajah yang melas, "Ya Allah Pak, satu detik doang. Gak liat saya udah ngos - ngos-an gini, Ayolah Pak bukain gerbangnya, saya mau ikut upacara."

"Iya nanti upacaranya sama Pak Jono,"

Nara meneguk salivanya susah, seketika merinding saat mendengar nama Pak Jono, kesiswaan SMA Cakrawala yang bengis jika menghukum muridnya.

"Ayolah Pak bukain, bapak gak kasihan nanti liat saya di hukum?"

Satpam itu mengambil kopi panas lalu menyeruputnya dengan pelan, hingga terdengar... "Ahhh, Kan yang dihukum kamu bukan bapak," jawabnya santai.

"Ya tapi bapak harus punya rasa empati sama saya," balas Nara lagi. Ia masih berusaha agar Satpam itu membukakan gerbangnya.

"Sudah neng, kamu tunggu Pak Jono aja."

"Astagfirullah Pak, sesama manusia itu harus saling membantu kan?" Satpam itu mengangguk sebagai jawabannya, "Sesama manusia itu saling membantu Pak, kalau bapak gak mau membantu, berarti bapak bukan manusia."

Satpam itu menyemburkan kopi yang baru saja di minumnya, pria paruh baya itu menatap Nara dengan tajam. "Maksud kamu? Kalau bapak bukan manusia, terus bapak apa?"

"Setan," balasnya cepat, beberapa detik kemudian ia menampilkan cengirannya. "Bercanda Pak."

Nara menghela napasnya. Ia berdecak kesal, ini semua salah Adit, Jika saja laki-laki itu mengabarinya tidak bisa menjemput, ia tidak akan terlambat seperti sekarang. Terlebih, Adit sering hilang kabar. Bahkan Nara pernah tidak dikabari selama sehari, baru semalam kejadiannya. Ya, pada malam minggu saat laki-laki itu mengabarinya akan berkumpul di Warbeh.

Nara sebenarnya tidak apa-apa, ia bukan tipe yang harus di kabari setiap hari atau bahkan setiap jam. Nara juga memaklumi jika memang Adit sedang sibuk atau tidak ingin di ganggu.

Nara menunduk seraya memainkan tali tas yang tersampir di pundaknya, tidak berselang lama sepasang sepatu putih menyapa sepatunya. Ia mendongak, menatap seseorang yang tengah tersenyum padanya.

"Tumben telat,"

Nara memutar bola matanya malas, "Manusiawi."

"Mending ikut aku yu,"

"Kemana sih Zi?"

"Masuk ke dalam,"

"Percuma, gerbangnya udah di tutup."

ALLOW (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang