BAB 41. TANGISAN LANGIT

316 87 100
                                    

SILAKAN VOTE DAN KOMEN

FIND ME :
@ptr.wulansr_
@bulansipit.wp

H A P P Y  R E A D I N G
________________________________

Suara gesekan daun dari terpaan angin kencang terdengar sedikit bergemuruh, kondisi malam ini begitu pekat sebab cahaya bulan yang malu – malu menampakkannya, juga tak ada gemerlap bintang yang mempercantik langit malam. Semua nampak gelap dan kelabu, seperti suasana hati Nara sekarang.

Selepas pulang dari Warbeh, Nara mengurung dirinya di dalam kamar, dengan lampu yang sengaja tidak di hidupkan, Nara menjatuhkan tubuhnya, menangis sepuasnya tanpa perlu dipendam.

Nara menangis sejadi – jadinya, ia menertawakan hidupnya yang menyedihkan, ia menertawakan kisah cintanya yang tak semulus jalan tol.

Hidup sendirian ternyata semenyakitkan ini ya?

Nara pikir, hidupnya akan kelabu setelah orang tuanya pergi. Namun semesta dengan berbaik hati mempertemukan Nara dengan Adit, laki – laki yang menumpahkan warna – warni dalam hidupnya, mempercayakan padanya akan selalu menebar kebahagiaan untuknya, mengajarkan arti cinta sesungguhnya, mengajarkan arti kehidupan. Tapi Nara melupakan satu hal, bahwa cinta juga bisa menjadi sumber luka dan patah hati terhebat.

Diruangan gelap dan hening yang hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak sesuai irama, masih ada bahu yang bergetar, hidung yang kesulitan bernapas karena terlalu lama menangis, mata yang kian mulai sembab. Nara melirihkan sesuatu pada langit.

"Tuhan, Nara capek."

Lirihan itu terdengar pilu menyayat hati. lelah menangis, membuat kelopak mata Nara perlahan menutup. Tidur dengan melewatkan mandi dan makan malamnya.

Sementara di depan gerbang rumah pemilik rumah yang baru saja terlelap bersama tangisnya itu, ada laki – laki yang berdiri dengan penyesalan yang mendalam.

Dia Radit Sanjaya, laki – laki yang berdiam diri selama dua jam lebih menatap kamar gelap yang disinggahi oleh gadisnya.

Entah masih pantas di sebut gadisnya atau tidak setelah ia menampar pipi gadis itu.

Jujur, Adit tidak berniat menyakiti Nara, ia hanya refleks saat mendengar kata kasar yang di lontarkan untuk Syarlin.

Sekali lagi, ia memandang kamar Nara dengan sendu, "Maaf Ra,"

***

"BAJINGAN, LO BRENGSEK DIT."

Teriakan itu menggema di sebuah ruangan dengan cayaha lampu temaram. Daksa yang sudah basah di banjiri keringat tak menghentikan kegiatan Adit memukul samsak.

Karena hanya dengan itu, Adit bisa melampiaskan semua emosi dalam dirinya.

Nara Safira-nama cantik yang sama cantiknya dengan pemilik namanya-, nama itu terus bersemayam dalam pikirannya membuat Adit lagi – lagi di gerayangi dengan perasaan sesal yang mendalam.

Rasanya, Adit ingin berperang dengan diri sendiri karena telah berani menyakiti gadis kesayangannya. Selama ini, Adit tidak pernah bermain tangan dengan perempuan. Yang membuat Adit kesal dengan dirinya sendiri adalah Nara, gadis kesayangannya yang pertama menjadi korban atas ulah tangannya.

Bugh

Pukulan terakhir yang begitu kuat ia lampiaskan pada samsak merahnya, lalu ia menangkap samsak itu, dipeluknya dengan erat.

"ARGHHHHHH..."

Adit melepaskan samsak itu, ia berjalan gontai pada dinding putih yang dingin itu. Menyandarkan punggungnya, hanya kisaran tiga detik, tubuh itu merosot dengan kepala yang tertunduk. Gumpalan rasa penyesalan masih menyelimutinya dengan erat.

ALLOW (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang