"Ceritakan tentang dirimu!" kata Alex memecah kesunyian setelah melihat raut wajah Sasha terlihat seperti kesal.
"Aku? Apa yang harus kuceritakan?" balik bertanya.
"Apapun."
"Aku hanya seorang desainer interior yang bekerja di sebuah kantor konstruksi dan bekerja untuk proyek perusahaanmu," jawab Sasha singkat dan padat.
Alex tersenyum dan lesung pipinya kembali meruntuhkan kekesalan Sasha. "Bagaimana dengan orangtuamu?"
Sasha kembali muram. Dia tidak suka ada orang yang ingin mengorek privasinya. "Orangtuaku sudah lama meninggal."
Alex menyentuh dagu Sasha lalu memutarkan wajah gadis itu untuk berbalik padanya. Sasha terkejut dengan langkah Alex yang terlalu cepat. Dia menatap dua bola mata berwarna abu-abu milik Alex.
"Aku ingin memilikimu, Sasha." kata Alex setengah berbisik.
Hembusan nafas Alex beraroma mint menyapu wajah Sasha. Jarak Alex semakin mendekat. Apa ini? Bagaimana ini? Jantung Sasha berdegup kencang.
"Alex," Sasha memundurkan kepalanya. "Kurasa ini terlalu cepat."
Alex menatap Sasha datar. Baru kali ini dia merasa tertolak oleh seorang wanita. Membuatnya semakin penasaran pada Sasha, satu-satunya wanita yang menolak ciumannya.
"Aku bahkan belum dapat mencerna semua ini. Ya, kuakui aku memang mengagumimu sejak pertama kali kita bertemu. Tapi untuk mencintai, kurasa aku perlu mengenalmu lebih lama." ujar Sasha berterus terang.
Alex mundur lalu meletakkan tangan kanannya di pipinya membuat wajahnya bertumpu pada lengannya. Dia menghela nafas.
Rupanya aku perlu usaha untuk mendapatkan gadis ini.
Alex tersenyum. "Baiklah. Kita akan mulai sering bertemu agar kau dapat mengenalku."
Sasha bernafas lega. Jantungnya sudah mulai terkontrol. Akan konyol jadinya jika semudah itu dirinya menyerah pada Alex. Terlalu kekanakan jika hanya kekaguman pada pandangan pertama membuatnya terlena.***Area mega proyek sudah terlihat meriah dengan berbagai lampu dan kerlap-kerlip serta spanduk dan karangan bunga bertuliskan ucapan selamat atas peresmian proyek komplek apartemen milik Perusahaan Trump.
Gala dinner dan gunting pita diadakan di ballroom apartemen. Seluruh ballroom sudah tertata dan buffet makanan berada di area samping kolam berenang. Di sana sudah ada Dean dan karyawan-karyawannya berkumpul.
"Dean, dimana Sasha? Kau tidak menjemputnya?" tanya Tasya setelah menyadari Sasha tidak berada di tempat biasanya, di samping Dean.
"Tidak. Sebentar lagi dia juga akan datang!" jawab Dean singkat.
"Eh, Tuan Alex dimana ya?" tanya Olivia sambil celingukan mencari seseorang di tengah kerumunan orang-orang penting Perusahaan Trump.
Samar-samar dari kejauhan terlihat Alex muncul dari pintu masuk ballroom sambil menggandeng seorang wanita.
"Eh itu dia!" seru Olivia membuat semua teman-temannya berbalik dan mengalihkan arah pandangan. "Hah? Itu Sasha?" Olivia terheran-heran melihat wanita yabg digandeng Alex.
Semua rekan-rekannya perlahan berbalik menatap Dean dengan perasaan yang tak nyaman. Dean hanya menatap Sasha datar dari kejauhan.
Acara peresmian pun dimulai setelah Alex datang. Setelah memberi beberapa sambutan, dengan arahan pembawa acara Alex pun menggunting pita yang terbentang di area peresmian.
Setelah acara utama selesai, semua menikmati makanan dan musik di area kolam.
Alex berkumpul dengan para petinggi perusahaannya dan Sasha berada di area buffet sambil matanya berusaha mencari orang-orang yang dikenalnya. Sedari tadi dia hanya bisa berada di samping Alex karena sekertarisnya, lelaki yang memberikannya gaun dari Alex, menyuruhnya untuk tetap mendampingi atasannya.
"Bagaimana? Apa kau menyukainya?" suara Dean mengagetkan Sasha.
Sasha berbalik dan melihat Dean dengan stelan jas berwarna biru gelap. Melihat Dean rasanya seperti melihat oase di tengah padang pasir. Sasha memeluk Dean kilat. "Dean! Dari mana saja kamu?"
"Aku dari tadi sudah di sini. Kamu saja yang tidak melihatku." jawab Dean ketus. "Apa kau senang menjadi Nona Alex?"
Sasha meniup jidatnya sendiri. "Huufftt... Ohh come on Dean! Kita bahkan baru beberapa kali bertemu!"
"Tapi aku yakin dia menyukaimu," Dean menatap Alex dari kejauhan yang tengah mengobrol dengan rekan kerjanya.
"Iya. Tadi dia memang bilang begitu," Sasha ikut menatap Alex dari kejauhan.
"Wah! Cepat sekali dia melangkah!" Dean memuji Alex, getir. "Apa kau menerimanya? Sepertinya iya."
"Tidak."
Dean menoleh tak percaya. Sasha menatap Dean dan bola matanya melebar meyakinkan sahabatnya itu. "Aku tidak segampangan itu tau!" Sasha protes. "Aku ingin melihat kesungguhan dan ketelusannya padaku, setelah itu akan kupikirkan lagi."
Rasanya seperti seseorang telah menusukkan anak panah tajam ke punggungnya mendengar Sasha menaruh harapan pada Alex. Yang dipikirannya hanya satu, dia tidak ingin Sasha tersakiti hatinya oleh Alex.
"Sha," nada suara Dean berubah menjadi serius. Sasha menoleh. "Jangan pernah menjadi orang lain di depannya agar dia tidak menyakiti hatimu."
Sasha menatap Dean lekat berusaha menerjemahkan maksud nasihatnya.
"Dean Anderson!" suara Alex memecah keheningan antara Sasha dan Dean.
Dean tersenyum lebar pada Alex. "Selamat atas peresmiannya Alex!" Dean menjabat tangan Alex.
Alex membalas dengan tersenyum tak kalah lebar. "Tidak tidak! Aku yang seharusnya mengucapkan selamat padamu! Selamat atas kesuksesanmu menyelesaikan proyek ini tepat waktu!"
Suara musik klasik terdengar dari audio yang dimainkan tim orchestra yang dipesan untuk mengisi acara hiburan.
Alex menatap Sasha lalu mengulurkan tangan kanannya, "Shall we?"
Sasha melirik Dean sekejap, lalu menerima ajakan Alex untuk berdansa. Dean menatap keduanya mejauh. Alex kemudian mendekatkan dirinya pada Sasha lalu tangan kirinya merangkul pinggul Sasha dan tangan kanannya memegang tangan Sasha. Senyum bahagia terkembang dari Alex, sedangkan Sasha terlihat malu karena menjadi spotlight di acara itu.
Orang-orang berbisik membicarakannya. Wanita yang baru pertama kali dibawa oleh Alex ke acara resmi. Dean menghabiskan martini di gelasnya dalam satu tegukan. Lalu tak jauh dari tempatnya berdiri dia melihat seorang wanita bergaun berwarna abu-abu berambut panjang yang sedang sendiri.
Dean memberanikan diri untuk mengajaknya berdansa. Dan wanita itu menerima ajakan Dean. Para tamu yang lainnya pun ikut berdansa dengan pasangannya masing-masing.
"Hei hei! Psst!" seru Tasya lalu membuat perkumpulan kecil bersama Olivia, Mike dan Bruce, sedangkan karyawan Art and Design lainnya tak kelihatan dimana rimbanya.
"Lihat itu! Apa kalian tidak mencium bau sesuatu yang terbakar?" tanya Tasya memakai kiasan.
"Ya, sepertinya Dean cemburu pada Alex!" simpul Olivia.
"Kalian itu bicara apa? Dean dan Sasha kan bersahabat?" Bruce tahu maksud kedua teman wanitanya.
Mike memukul kepala Bruce. "Dasar bodoh! Dari cara mereka berinteraksi satu sama lain itu kelihatan sekali kalau itu bukan persahabatan! Tapi cinta! Hanya saja mereka terlalu pecundang untuk mengakuinya!"
"Waah Mike! Rupanya kau pintar juga!" Tasya memuji Mike.
"Sekarang kita harus bagaimana? Apakah kita harus membuat Dean menyatakan perasaannya pada Sasha? Jangan sampai dia kalah cepat oleh Alex!" saran Olivia yang tidak rela Alex jatuh ke tangan siapapun kecuali dirinya.
"Hei, kenapa kalian mengurusi masalah pribadi orang lain? Sudahlah, kita hanya bisa menonton. Urus hidup kita masing-masing!" perkataan Bruce seketika membubarkan perkumpulan kecil itu. Memang benar apa kata Bruce.

KAMU SEDANG MEMBACA
Days to Love
RomanceDean dan Sasha adalah sahabat sehidup semati. Tak pernah terpikirkan bahwa kebersamaan dan kebiasaan membuat mereka saling bergantung satu sama lain. Hingga sampai pada kesadaran bahwa mereka saling mencintai. Tapi kedatangan Alex dan Mia mengubah s...