Hukuman

105 10 0
                                    

Tring

Pintu lift kantor Art and Design terbuka. Mia keluar dari pintu lift dan melangkah dengan pasti ke dalam kantor milik calon suaminya. Mia berhenti di depan meja resepsionis. Kedua resepsionis itu terlihat kaget sekaligus canggung melihat kedatangan Mia.

Seisi kantor itu sudah tahu siapa Mia dan hubungan apa yang terjalin dengan atasannya. Tak dapat dipungkiri, para karyawan memang lebih mendukung Sasha untuk posisi ibu bos yang memang sudah memiliki kedekatan emosional dengan mereka.

Mia menurunkan kacamata hitamnya. "Apa Tuan Dean ada di ruangannya?"

Salah seorang resepsionis berdiri. "A... ada Nona. Biar saya telpon dulu Tuan Dean kalau nona datang!"

Mia mengibaskan telapak tangan kanannya. "Tidak usah. Biar aku langsung masuk ke ruangannya untuk memberi kejutan!"

"Tapi Nona..." tak sempat resepsionis itu melanjutkan kalimatnya, Mia sudah berjalan menyusuri kubikel karyawan yang lain.

Resepsionis itu duduk dan berbisik pada rekan di sampingnya. "Nona Sasha saja selalu minta izin sebelum memasuki ruangan Tuan Dean!"

Mia tersenyum pada setiap karyawan yang dilewatinya. Para karyawan itu membalas senyuman Mia dengan begitu canggung. Sampai dia berhenti di depan kubikel Sasha yang terlihat kosong dari barang-barangnya.

"Dia sudah pergi," ucap Mia dalam hati dengan senyuman kemenangan terkembang di wajahnya.

Jglek!

Mia masuk ke dalam ruangannya dan terlihat Dean sedang menggambar konstruksi di meja gambarnya. Dean terkejut saat seseorang tanpa seizinnya masuk ke dalam ruangannya di saat dia bekerja.

"Apa yang kau lakukan di sini?!" sentak Dean.

Mia terkejut dengan sambutan dari Dean yang seperti itu. "A... aku ke sini untuk membicarakan pernikahan kita."

"Ini masih jam kerja, kau tidak lihat?" Dean menunjuk jam dinding dengan tatapannya.Masih pukul sepuluh pagi.

"Baiklah, aku akan menunggumu di sini," Mia mendaratkan tubuhnya ke atas sofa.

"Kau akan bosan, sebaiknya kau habiskan waktumu di tempat lain," kata Dean malas.

Bukan Mia namanya jika dia tidak bersikeras. "Aku tidak akan bosan. Bekerjalah dengan tenang, jangan hiraukan aku!"

Dean tak ambil pusing dan melanjutkan pekerjaannya. Mia berusaha sekuat tenaga agar tidak merasa bosan. Dia memainkan ponselnya sampai matanya berkunang-kunang. Mia mematikan ponselnya kemudian berjalan menyusuri rak buku besar yang menempel di dinding. Buku-buku itu sebagian besar isinya tentang arsitektur dan desain interior. Sampai di meja Dean, sebuah foto berfigura tersimpan di atas meja. Mia meraih itu dan melihat isi fotonya. Foto kebersamaan Dean dengan Sasha.

Mia tidak suka menatap foto itu. Meski dia sudah memenangkan Dean, tapi dia sadar bahwa dia tidak dapat memaksa Dean untuk mencintainya. Dia hanya dapat memaksa Dean untuk menikahinya. Namun cintanya kepada Dean adalah nyata. Dia bertekad untuk menjadi istri yang baik untuk Dean sebenci apapun Dean padanya.

"Letakkan itu di tempatnya semula!" ucap Dean yang menatap Mia memegang figura fotonya bersama Sasha.

Mia menuruti apa kata Dean. "Baiklah."

Dean selesai dengan pekerjaannya, lalu duduk di meja kerjanya. "Apa yang ingin kau bicarakan?"

Mia tersenyum dengan ceria, lalu duduk di kursi di hadapan Dean. "Dean, di undangan yang kau kirimkan padaku di situ pernikahan kita akan berlangsung minggu depan. Apa itu tidak terlalu cepat?"

"Lalu? Apa kau ingin menunggu sampai perutmu membuncit dan kita melangsungkan pernikahan?" balas Dean ketus.

"Tapi, aku perlu mempersiapkan pernikahan impianku."

"Apa yang kau impikan? Apa kehamilanmu termasuk yang kau impikan? Sadarilah Mia, aku tidak mencintaimu. Aku terpaksa menikahimu."

Mia tertegun. Dean tidak sehangat dulu. Mia menyadari, mungkin inilah hukuman yang akan dia terima akibat dari perbuatannya. "Baiklah, kita akan persimpel acara pernikahan kita."

"Jangan banyak mengundang tamu. Cukup keluarga inti saja."

"Baiklah."

"Dan aku ingin tes DNA setelah anak itu lahir."

Kalimat yang Dean lontarkan barusan bukanlah berasal dari sosok Dean yang dia kenal. Kalimat itu ternyata terasa begitu menyakitkan bagi Mia. Ya, dia memang memaksa Dean untuk membuahinya. Namun dengan adanya keraguan itu, membuktikan seberapa tinggi dia menilai Mia di matanya. Dan Mia terlihat begitu rendah di mata Dean.

"Baik, aku setuju," kata Mia pada akhirnya.

"Jika anak itu terbukti bukan anakku, maka kita bercerai."

Kedua mata Mia mulai berkaca-kaca. "Aku memang pantas mendapatkannya," ucap Mia dalam hati.

"Jika anak ini memang anakmu?" tanya Mia.

"Aku akan menjadi ayah untuknya."

Dean dan Mia lama terdiam hingga akhirnya Dean meraih telepon di mejanya dan menelepon seseorang. "Halo, aku ingin kau datang hari ini untuk mendiskusikan pernikahan dengan calon istriku. Setelah makan siang, di kantorku."

Mendengar Dean menyebutnya dengan sebutan "calon istri" sedikitnya telah mengobati rasa sakit di hatinya.

"Aku sudah menelepon pengatur acara pernikahan. Buat secepat dan seringkas mungkin, aku tidak ingin bertele-tele."

"Bagaimana dengan bulan madu?" Mia masih berusaha.

"Aku tidak ada waktu untuk itu. Aku ada proyek yang harus ditangani."

Mia menelan ludahnya. "Ya ini adalah hukuman."***Visa bekerja Sasha sudah selesai dalam tiga hari dan tiket pesawat sudah dipesan beserta hotel untuk tempat tinggal sementara. Semua persiapan kepergian Sasha ke New Zealand sudah siap. Tanggal kepergiannya sama dengan tanggal pernikahan Dean dengan Mia. Dia tidak akan menghadiri pernikahan itu agar Dean dapat mengucap sumpah setia dengan mudah.

Setelah mengepak barang-barangnya, Sasha duduk di sofa dan membuka laptopnya. Layar desktopnya masih dipenuhi foto-foto kebersamaannya dengan Dean. Sasha membuka file foto-fotonya, menandai semua dan menekan tombol delete.

Tring

Do you want to delete all files permanently?

Sasha mengurungkan niatnya untuk meghapus foto-fotonya secara permanen. Dia masih tetap menyimpannya. Persahabatannya dengan Dean selama bertahun-tahun terlalu berharga untuk dihapus dalam satu kali gerakan jari.

Sasha menghela nafasnya lalu beralih membuka situs pencarian jual rumah di New Zealand. Lokasi perusahaan Trump berada di pusat kota Auckland, maka dia akan mencari apartemen di sekitar tempat kerjanya. Apabila dia sudah menguasai daerah itu, maka dia akan mencari rumah yang agak jauh dari tempat kerjanya.

***Sasha menyeret kopernya dan berjalan menuju pintu keberangkatan maskapai penerbangan menuju Auckland, New Zealand. Lama penerbangan dari Sydney ke Auckland sekitar tiga jam. Dalam satu tarikan nafas, Sasha bersiap dengan hidup barunya.

Sementara di tempat lain di sebuah cottage di sekitar Sydney, telah berlangsung pernikahan antara Dean dan Mia. Tak banyak yang datang. Bahkan Dean sempat mencari-cari wajah Sasha di antara tamu yang datang. Namun, Sasha tak terlihat sama sekali.

Pernikahannya dengan Mia merupakan suatu pembuktian bahwa dia telah menuruti apa yang Sasha inginkan. Hatinya kini telah beku. Wanita yang dicintainya pergi dan wanita yang tak dicintainya kini telah menjadi istrinya. Amarah yang tak dapat dia lepas kini mengepung hatinya. Dia marah pada apa yang telah terjadi padanya. Dia marah pada Mia yang menjebaknya.***

Days to LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang