Kehamilan Mia

102 8 0
                                    


Malam hari, Dean sampai di apartemennya. Dean heran melihat kondisi apartemennya yang sepi dan lampu yang masih padam. Dean menyalakan lampu sambil menyerukan nama kekasihnya.

"Sasha?" Dean menatap pintu kamarnya terbuka sedikit dan lampu di dalamnya menyala. "Kau di kamar?"

Dean membuka pintu kamar lebar-lebar dan terkejut melihat Sasha duduk di atas tempat tidur dengan kopernya yang sudah penuh berisi barang-barangnya. Dean melirik meja rias dan kosmetik Sasha pun sudah tidak ada di sana.

Sasha hanya menatapnya dengan tatapan kosong tidak seperti biasanya.

"Sayang? Apa yang terjadi?" tanya Dean dengan jantung yang berdegup kencang. Sesuatu yang buruk pasti telah terjadi. Seketika dia teringat dengan Mia.

Sasha melemparkan test pack ke hadapan Dean. Lemparan Sasha begitu tepat sehingga bagian depannya terlihat jelas oleh Dean, dua garis biru. Sebuah test pack kehamilan dengan dua garis biru di dalamnya merupakan sebuah pengetahuan yang umum bahwa arti dari dua garis itu adalah positif hamil.

"Sasha, kau hamil?" tanya Dean.

Sasha bangkit dan mulai mendekat. "Bagaimana bisa aku hamil! Kita selalu menjaga itu!"

Dean menutup matanya dan bersiap bahwa hubungannya dengan Sasha telah di ujung tanduk.

"Itu milik Mia!" teriak Sasha, air matanya sudah tidak tertahankan lagi.

Bagaikan terkena sambaran petir, kehamilan Mia adalah hal terburuk dari segala hal buruk yang pernah dia terima seumur hidup. Dia hanya bersiap bahwa pengkhianatannya akan terbongkar. Namun, kehamilan Mia sudah lebih dari sebuah pengkhianatan.

"Kurasa aku tidak perlu menanyakan siapa ayahnya!" tambah Sasha, seraya menyeret kopernya.

Dean menghalangi pintu untuk menghentikan Sasha.

"Aku bisa menjelaskannya, Sasha. Mia menjebakku! Aku tidak menginginkan Mia!" ucap Dean dengan tatapan yang tajam.

"Alasanmu sudah tidak ada gunanya! Kau tidak dapat mengembalikan apa yang telah kau hancurkan Dean, kau menghancurkan perasaanku!"

"Sasha, aku tidak ingin kehilanganmu! Aku pun akan hancur jika kau meninggalkanku!" Dean mulai berkaca-kaca.

"Lalu? Bagaimana dengan kehidupan wanita yang kau hamili? Kau akan meninggalkannya sendirian menghadapinya? Atau menyuruhnya menggugurkan kandungannya?"

Dean menutup matanya dan meremas rambutnya karena pening. Dean tidak akan pernah membunuh seseorang apalagi membunuh anaknya sendiri dengan mengaborsi.

"Aku harus bagaimana Sasha? Please, aku tidak ingin kehilanganmu!" lirih Dean.

Sasha menghapus air matanya, lalu menatap Dean dengan tatapan tajam. "Nikahi Mia. Jadilah ayah untuk anak itu. Aku tetap akan pergi!"

Kali ini, Dean tidak dapat menahan Sasha lagi. Sasha keluar dari apartemen itu sambil menyeret kopernya dan bercucuran air mata. Dean berjalan gontai mengikuti Sasha yang keluar dari apartemennya. Segera setelah pintu tertutup, dia segera memporak-porandakan barang pecah belah yang ada di atas meja makan.

PRAK!

"HAAAAAKK!" Dean berteriak sambil menangis menahan emosinya.***Sasha terbangun dari atas tempat tidurnya di losmen kecil miliknya. Dia kembali ke tempat itu dan menangis semalaman di atas kasur sampai dia tertidur. Matanya begitu berat. Hari ini Sasha akan membuat surat pengunduran diri dari perusahaan yang dia rintis bersama Dean. Masih bekerja di perusahaan itu sama saja dengan mengganggu kehidupan Dean dengan Mia. Keputusannya sudah bulat. Sasha harus melepaskan Dean agar dia bisa menjadi ayah bagi anak yang dikandung Mia.

Sasha masih tengkurap di atas tempat tidurnya saat seseorang masuk ke dalam kamarnya. Dengan cepat Sasha bangkit dan melihat Alex di hadapannya.

Ah ya, Alex punya kunci losmenku! Sasha dalam hati.Alex menatap Sasha dengan wajah penuh kekhawatiran. Alex mendekat dan berlutut di hadapan Sasha, lalu menggenggam kedua tangan Sasha.

"Aku minta maaf padamu atas nama Mia. Aku benar-benar murka dengan tingkah lakunya!" ucap Alex.

Ucapan Alex membuat Sasha kembali merasakan kesakitannya semalam. Sasha kembali menangis di hadapan Alex. Lelaki itu kemudian bangkit dan duduk di samping Sasha, lalu memeluk wanita itu. Sasha semakin tersedu sedu mendapatkan pelukan itu. Meskipun Alex dan Mia bersaudara, tapi Sasha tidak merasakan kebencian pada Alex.

Sasha akhirnya terdiam setelah membasahi kemeja yang dipakai Alex.

"Lalu apa rencanamu selanjutnya?" tanya Alex setelah Sasha merasa tenang.

"Aku akan mengundurkan diri dari perusahaan Dean. Aku akan pergi jauh darinya dan membiarkan Dean bersama Mia membesarkan anaknya," jawab Sasha.

Alex sangat ingin membantu Sasha. "Apa kau ingin bekerja di perusahaanku?"Sasha duduk dengan benar dan melepaskan rangkulan Alex. "Kau memiliki anak perusahaan di bidang konstruksi?"

Alex mengangguk. "Aku memilikinya di New Zealand."

New Zealand. Tempat yang cocok untuk membuka lembaran baru. "Aku akan memasukkan berkas lamaranku pada perusahaanmu secepatnya."

"Kau yakin akan ke New Zealand?" tanya Alex.

Sasha mengangguk dengan penuh keyakinan. Lelaki itu pun kemudian merogoh sakunya dan menelepon seseorang.

"Hai, Josh. Apa kabarmu?" ucap Alex pada seseorang dari dalam ponselnya. "Aku akan menempatkan seseorang yang ahli di bidang desain interior di sana. Baiklah. Bagus, sampai jumpa!" Alex menutup sambungan telepon dan memasukkan ponselnya ke dalam saku. "Kau sudah diterima. Minggu depan kita akan ke New Zealand."

Sasha ternganga. "Semudah ini? Aku baru mengerti apa itu artinya orang dalam."

"Bersyukurlah karena berteman denganku!" Alex berdiri dan melangka keluar dari kamar Sasha.

Sasha ikut berdiri dan mengikuti Alex dari belakang. "Minggu depan aku sudah mulai bekerja di sana?"

"Ya. Persiapkan visa bekerjamu. Kita akan pergi minggu depan."

"Tunggu, kita?"

Alex berhenti di depan pintu, lalu berbalik menghadap Sasha. "Ya."

"Alex, maaf bukan aku tidak sopan. Tapi, aku ingin bekerja dengan professional. Yah, meskipun awal aku masuk ke perusahaanmu itu sangat tidak professional, tapi selanjutnya aku ingin bekerja dengan baik."

Alex mengernyitkan dahinya. "So?"

"Kau tidak usah mengantarku ke sana. Aku tidak ingin diperlakukan istimewa oleh karyawan yang lain karena aku berteman denganmu."

"Siapa yang akan mengantarmu?"

Kini Sasha yang mengernyitkan dahinya. "Kau bilang kita akan ke New Zealand?"

"Ya. Aku memang ada agenda ke New Zealand. Untuk memonitoring perusahaanku di sana dan menjenguk ibuku, bukan untuk mengantarmu."

Pipi Sasha memerah karena malu. "Ooh begitu, hehe"

Alex tersenyum, lalu merogoh kacamata hitamnya dan keluar dari losmen Sasha.

David mulai menjalankan mobilnya sesaat setelah Alex masuk di jok belakang. "David,"

"Ya Tuan?" sahut David sambil memandang kaca spion.

"Persiapkan agenda untuk memonitoring perusahaan di New Zealand minggu depan. Oh ya, kabari ibu kalau aku akan berkunjung," perintah Alex.

"Baik Tuan!" balas David.

David merasa heran dengan perjalanan New Zealand yang terkesan mendadak ini. Mengunjungi Nyonya Trump adalah agenda tahunan atasannya yang biasanya dijadwalkan setiap sehari sebelum natal. Dan ini masih sangat jauh dari natal.***

Days to LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang