Say Good Bye

113 11 0
                                    

DUK! DUK! DUK!

Pintu losmen Sasha diketuk dengan keras. Ketukan itu terdengar seperti diketuk dengan kepalan tangan bukan dengan jari. Sasha menatap jam di dinding menunjukkan pukul 9 malam. Perlahan Sasha membuka pintunya dan Dean segera masuk ke dalam losmen. Memojokkan Sasha hingga tubuhnya menempel di dinding.

"Sasha, kumohon jangan pernah meninggalkanku," ucap Dean dengan lirih.

Dean mendekap tubuh Sasha. Dia merasakan tubuh kekasihnya yang dicintainya sejak lama. Rasa cinta yang timbul dari persahabatan. Jika dia tahu bahwa akhirnya akan seperti ini, dia tidak akan menjalin hubungan itu melebihi persahabatan. Dean sama sekali tidak bisa kehilangan Sasha, baik sebagai kekasih maupun sebagai sahabat.

Sasha terdiam. Dia memang harus bicara dengan Dean. Dean sudah begitu melekat dengannya selama ini. Dia pun tidak ingin kehilangan Dean, akan tetapi kehamilan Mia benar-benar diluar toleransinya. Dean harus bertanggung jawab atas kehamilan itu. Dia sangat membenci orang yang menelantarkan anaknya karena hal itu mengingatkannya pada orangtuanya yang menelantarkannya di panti asuhan.

Dean perlahan melepaskan pelukannya. Dia memperlihatkan surat pengunduran diri Sasha yang sedari tadi dia genggam.

"Aku tidak bisa membiarkanmu keluar dari perusahaan," kata Dean sambil menggeleng.

"Dean, jika aku masih tetap di dekatmu. Aku tidak akan bisa kuat melihatmu bersama Mia, begitu pun denganmu. Jika aku masih berada di sekitarmu kau tidak akan bisa bertanggung jawab pada Mia," balas Sasha. Kali ini dia berbicara dengan logikanya, bukan dengan perasaannya.

"Aku akan bertanggung jawab dengan anak itu. Aku akan menjadi ayah biologisnya, membiayai seluruh kehidupannya tapi tidak dengan menikahi Mia, aku tidak mencintainya."

Sasha menatap Dean dengan tatapan nanar. "Hamil dan membesarkan anak tanpa pendamping hidup itu sangat sulit. Membayangkannya saja aku tidak bisa! Tidak mencintainya? Seharusnya kau menyadari itu sebelum melakukannya!"

Sasha berjalan ke arah ruang TV dan duduk di sofa. Dean mengikutinya dan ikut duduk di sampingnya.

"Aku sudah bilang, bahwa aku dijebak! Aku harus bagaimana?" Dean masih belum menyerah.

"Lalu bagaimana? Kau tidak bisa memutar ulang kejadian itu! Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu, baik itu yang disengaja maupun tidak!"

"Jika kau yang hamil aku akan menikahimu, Sasha!"

Sasha menoleh dan menatap Dean dengan geram. "Ini bukan soal siapa yang hamil Dean! Ini soal bagaimana kau memperlakukan seorang wanita! Kau tidak bisa menelantarkan Mia dengan kehamilannya seorang diri begitu saja!"

"Mia,Mia, Mia!" Dean muak dengan nama itu. "Bisakah kau memikirkan hanya kau dan aku?"

"Kau sangat egois Dean!"

"Kau terlalu banyak memikirkan orang lain dibanding dengan kebahagiaanmu sendiri! Kau terlalu naif!"

PLAK!

Tamparan keras mendarat mulus di pipi Dean. Dia tidak menyangka Sasha akan menamparnya semudah itu.

"Aku ingin kau menikahi Mia, menjadi ayah untuk anak itu dan suami yang baik bagi Mia," ucap 

Sasha dengan perasaan yang begitu sakit. "Agar kau dapat melakukannya dengan baik, maka aku harus menjauh darimu," lanjutnya.

Dean sudah kehilangan kesabarannya. Kini dia sudah tidak dapat berargumen dengan Sasha lagi. Dia berdiri.

"Baiklah, jika itu yang kau inginkan! Aku akan melakukannya!" akhir Dean, seraya pergi keluar dari losmen itu.

BRAK!

Pintu tertutup dengan keras.

Sasha ambruk ke atas sofa dan kembali meratapi kisah cintanya yang menyedihkan.***Tasya dan Olivia membantu Sasha membereskan barang-baragnya di kubikel Sasha dengan wajah sedihnya.

"Apa kau yakin tidak ingin memaafkan Dean?" tanya Tasnya.

Sasha berhenti mengepak buku-bukunya. "Dengan aku menjauh darinya, maka aku bisa memaafkannya."

Olivia menyenggol Tasya dan memberi isyarat untuk tidak mencampuri urusan Sasha dan Dean. Tasya menggeleng.

"Aku yakin ini pasti kesalahan wanita itu! Dean tidak pernah berbohong! Dia pasti dijebak wanita itu!" Tasya tidak dapat mengendalikan emosinya.

"Ini bukan soal dijebak atau tidak. Anak itu, harus memiliki ayah. Aku tidak sanggup menyaksikan itu. Aku harus menjauh dari Dean," Sasha duduk di kursinya. "Aku mencintai Dean sedari dulu, tapi ini bukanlah sesuatu yang bisa aku lawan. Ini solusi terbaik."

Olivia mengusap punggung Sasha yang terlihat mulai emosional. Tasya akhirnya mengerti itu dan dia pun tidak bisa membantu apapun.

Dalam dua puluh menita, kubikel Sasha sudah bersih dan rapi. Barang-barangnya sudah terkumpul dalam sebuah kotak kardus yang dapat diangkat dengan mudah oleh Sasha. Kepergian Sasha dari kantor itu begitu menyesakkan bagi karyawan yang lainnya. Namun, keputusan Sasha sudah bulat. Tak ada seorang pun yang dapat menghentikan kepergiannya.

Sasha menekan tombol pintu lift sambil mendekap kardus di dadanya. Ruangan Dean terlihat dari kejauhan. Ruangan itu tertutup. Menurut resepsionis, Dean belum datang hari ini.

Tring

Pintu lift terbuka dan Dean muncul dari balik lift. Keduanya terhenyak. Namun, tatapan Dean sudah tidak sehangat sebelumnya. Begitu pun dengan tatapan yang Sasha berikan. Kini mereka berdua sudah menjadi orang yang pernah mengenal. Sasha melangkahkan kakinya masuk ke dalam lift bersamaan dengan Dean yang melangkahkan kakinya keluar dari lift.

Setelah keluar dari lift, Dean berbalik dan menatap Sasha di dalam lift. Dean mengeluarkan sebuah kartu dari balik jasnya. Kartu itu dia simpan ke dalam kotak yang dibawa Sasha. Sasha berusaha melihat kartu apa yang barusan diberikan Dean.

"Itu kartu undangan pernikahanku dengan Mia. Datanglah jika kau sempat," tandas Dean dengan nada dingin.

Sasha menatap Dean. Matanya terasa perih begitu pun dengan hatinya. Air matanya mengalir bersamaan dengan pintu lift yang tertutup. Segera setelah pintu lift tertutup, Sasha menjatuhkan kotak yang didekapnya dan meraih kartu undangan yang Dean berikan tadi. Dia membaca dengan saksama. Dean Anderson dan Camilia Trump kedua nama itu tertera jelas dalam undangan.

"Secepat itukah?" gumam Sasha.

Sasha menghapus air matanya, lalu menutup kartu undangan itu dan meletakkannya kembali ke dalam kotak. "Selamat tinggal Dean."

***Mia mulai merasakan ketidakberdayaannya menghadapi kehamilan. Dia sama sekali tidak bernafsu untuk makan. Setiap penciuman yang masuk ke hidungnya membuatnya mual. Akan tetapi tak ada hal yang membuatnya ingin menggugurkan kandungannya mengingat bahwa ayah dari janin yang dikandungnya adalah Dean. Lelaki yang begitu dia inginkan.

Sudah dua minggu lebih semenjak dia memberitahukan kehamilannya pada Sasha, tapi Dean tak kunjung menghampirinya. Begitu pun dengan Alex. Sehari setelah Sasha mengunjunginya, Alex mengunjunginya hanya untuk memarahi bukan memberi dukungan atas kehamilannya.

Mia duduk di meja makannya, lalu membuka laptopnya untuk mengecek email yang masuk. Sebuah email yang begitu mengejutkan masuk pagi ini. Email dari Dean yang melampirkan sebuah file. Mia begitu bahagia ketika dia membuka file itu. Sebuah kartu undangan pernikahan dengan namanya tertera di sana.

"Dean, kau begitu mengejutkan. Ternyata kau adalah lelaki yang bertanggung jawab," Mia tersenyum lebar.

***

Days to LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang