Selamat membaca!
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
**
Ternyata Geladis yang pertama selesai. Ia sempat melihat Ryan masih duduk tahiyatul akhir dan memilih untuk menunggu lelaki itu di luar, seperti perjanjian yang telah mereka sepakati. Dilihatnya orang-orang lalu lalang dengan urusan masing-masing. Ada yang jalannya begitu lambat, juga terburu-buru seperti tidak sabar ingin meninggalkan tempat ibadah ini.
Menyedihkan jika dipikir-pikir. Orang-orang itu—yang berjalan cepat, tergesa-gesa—mungkin tidak membaca dzikir setelah salat. Atau bahkan tidak membaca surah-surah pendek dalam salat karena merasa tidak sempat. Lihatlah sepasang kaki buatan Allah itu, yang malah digunakan untuk mengejar dunia yang mana tidak ada habisnya. Buktinya, rumah Allah saja yang seharusnya membuat hati tenteram dan tenang mereka tinggalkan tanpa rasa bersalah.
Geladis hanya bisa mengelus dada dan mengambil hikmahnya. Bersamaan dengan itu, Ryan keluar dari dalam masjid dan datang menghampirinya. Ryan mengajaknya ke mobil untuk melanjutkan perjalanan mereka. Sama sekali Geladis tidak bertanya apa yang menjadi alasannya begitu lama sebab ia percaya lelaki itu sedang berbincang dengan sang pencipta.
"Makan malam di luar atau langsung pulang?" tanya Ryan di kemudi.
Geladis yang sedang membenarkan lengan gamisnya pun menoleh pada Ryan. "Langsung pulang saja, Tuan," balasnya.
Ryan mengangguk lalu menyalakan mesin mobilnya. Ketika mereka tiba, benar saja sudah hampir memasuki waktu maghrib. Mereka berdua disambut para pelayan, termasuk membantu Geladis menaiki tangga karena Ryan masih harus ke ruang kerjanya.
Tubuh Geladis segar kembali setelah mandi, memakai pakaian baru, dan salat maghrib. Sontak Geladis balik badan memunggungi pintu ketika Ryan tiba-tiba masuk tanpa mengetuk. Ryan sadar kelalaiannya pun meminta maaf.
"Maaf, saya tidak tahu kalau kamu masih memakai kerudung," sungguh Ryan turut balik badan.
Tidak ada jawaban dari Geladis yang memang masih sibuk mengancingkan kerudungnya dengan jarum.
"Makan malamnya sudah siap. Saya tunggu di bawah," beritahu Ryan kemudian. Tanpa berani melirik Geladis, Ryan mengulurkan tangannya ke gagang pintu lalu menariknya sampai pintu kayu itu tertutup rapat kembali.
Ryan berjalan menuruni anak tangga sembari memijit pelipisnya yang pening. Sampai di tengah tangga, langkahnya melambat. Matanya mengamati sekitar, pada anak tangga di bawah kakinya yang jumlahnya banyak sampai ke bawah. Bram di bawah menunggu Ryan, sekaligus membaca ekspresi tidak wajar yang Ryan pasang di wajahnya.
"Ada apa, Tuan?" tanya Bram rajin.
Ada keheningan sejenak dari Ryan yang tidak langsung menjawab. Ryan meletakkan tangannya di pinggang, masih memiliki air muka berpikir.
"Hubungi Putra," perintah Ryan.
Bram mengernyitkan dahi, mengingat-ingat nama Putra di kontak Ryan. Namun, Bram ingat ada 3 nama Putra di sana dan Bram tidak tahu Putra siapa yang Ryan maksudkan.
"Maaf, Tuan. Putra yang mana?" tanya Bram, daripada sesat di jalan.
"Putra Hendriawan, arsitek yang sedang di Moscow," balas Ryan sekenanya sembari berjalan menuju ruang makan.
Bram segera pergi ke ruang kerja Ryan untuk menghubungi Putra dengan telepon di sana. Di samping itu, Geladis turun dengan bantuan pelayan, lagi. Padahal Geladis sudah berkali-kali mengatakan bahwa dirinya bisa jalan sendiri, mereka seperti tembok yang tidak mau mendengarkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Tuan Ryan
RomanceGeladis diambil kesuciannya oleh seorang lelaki tidak dikenalnya 4 bulan yang lalu dan kini tengah mengandung anak lelaki itu. Usut punya usut, lelaki asing itu ternyata seorang direktur utama sebuah perusahaan besar. ** Geladis Amaira sudah kehilan...