Jangan lupa ibadah dulu ya temen-temen. Nah, kalau udah, selamat membaca!
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم
**
Terhitung hampir lima tahun lamanya Ryan belum pulang ke kampung halamannya di Pekanbaru, di mana terakhir kali ia menginjakkan kaki di sana adalah ketika ia baru menyelesaikan studinya dari Universitas Teknologi Bandung dengan menyandang gelar S.Kom dan hendak melanjutkan S2 dengan bidang studi manajemen bisnis di Universitas Indonesia. Tentu saja pendidikan yang diambilnya atas permintaan Tuan Achmad.
Bermodalkan otaknya yang encer, Ryan menyelesaikan seluruh studinya di usia 24 tahun yang kemudian menjabat sebagai kepala direksi di usia 25 tahun menggantikan posisi Tuan Achmad. Terkesan mujur dengan proses yang amat singkat, namun Tuan Achmad yang kepalang lanjut usia dan ingin segera beristirahat tidak bisa mempercayai siapapun di keluarganya selain Ryan yang merupakan anak angkatnya.
Orang-orang akan berpikiran bahwa Ryan aji mumpung dan enak hidupnya pun bergelimang harta serta bisa memimpin di sebuah perusahaan yang berjalan di bidang eksport import itu, namun tak banyak orang tahu bahwa dengan demikian di usianya yang masih sangat muda Ryan sudah harus mengemban tanggung jawab besar memimpin 8000 pegawai di perusahaan. Siapa yang mau hidup di bawah tekanan, bahkan makan dan tidur pun terpaksa kerap terlewat? Sebetulnya banyak, namun jika Tuan Achmad hanya mau Ryan, orang lain bisa apa?
"Ya Allah, Mas Ryan!" tegur Geladis di samping.
Ryan terperanjat, bangun dari lamunannya dan seketika itu juga sadar bahwa ia sedang memegangi botol susu Ghafi. Alhasil, pipi dan dagu putranya itu belepotan akan cairan kental berwarna putih sementara si kecil tetap menghisap dotnya tanpa memedulikan kehebohan kedua orang tuanya. Geladis segera mengambil lap dari dalam tas tangannya lantas mengelap wajah sang putra sampai bersih kembali, bahkan sampai bedaknya ikut terangkat.
"Maaf, ya, Dek." Ryan merasa bersalah telah teledor.
Geladis menyimpan kembali lap kuning berbahan lembut itu ke dalam tas, menarik sudut bibirnya ke atas membentuk lengkungan senyum tulus.
"Tidak apa-apa," katanya pada sang suami. "Kalau lelah, biar aku yang bawa."
"Saya tidak lelah," balas Ryan sudah melihat ke depan lagi.
Melihat keanehan pada Ryan, Geladis merasa curiga. Ketika sedang menerka-terka apa yang sebenarnya terjadi pada Ryan saat ini, Hanifa memanggil.
"Geladis, kamu lihat masjid di ujung itu?" Hanifa menunjuk ke objek yang dimaksudnya. Geladis mengalihkan perhatian pada bangunan hijau sekian ratus meter jauhnya itu kemudian mengangguk.
Hanifa tersenyum. "Setiap kami pulang, mushola itu jadi patokan kami. Karena kami tidak bisa datang setiap tahunnya dan hanya bangunan itu yang masih kokoh tak berubah, kami menggunakannya sebagai tanda bahwa rumah Atuk sudah dekat."
Geladis menganggukkan kepala mengerti. Ia lantas bersemangat karena sebentar lagi Ghafi bisa bertemu dengan buyutnya, begitupun dengannya yang juga bisa melihat Atuk secara langsung lantaran ketika pernikahan mereka, keluarga Pekanbaru tiada satu pun yang datang.
"Mas, kenapa dulu waktu kita akad nikah tidak ada yang datang?" tanya Geladis.
Ryan yang sedang menepuk-nepuk punggung Ghafi supaya tidak muntah setelah menghabiskan susunya melirik pada sang istri dengan senyuman tipis yang datang menyusul.
"Tentu saja karena tidak ada yang bisa datang," jawab lelaki itu sembari mendudukkan Ghafi di atas pahanya lagi.
"Kami sudah mengabari. Setidaknya mereka tahu Ryan menikah," tambah Agung di kursi kemudi.
![](https://img.wattpad.com/cover/307124078-288-k636613.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Tuan Ryan
RomanceGeladis diambil kesuciannya oleh seorang lelaki tidak dikenalnya 4 bulan yang lalu dan kini tengah mengandung anak lelaki itu. Usut punya usut, lelaki asing itu ternyata seorang direktur utama sebuah perusahaan besar. ** Geladis Amaira sudah kehilan...