UTR 8

105K 11.8K 959
                                    

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Selamat membaca!

**

   "Mas, bangun, Mas." Geladis mengguncang pelan lengan Ryan yang melingkari perutnya. Tak ayal, Geladis tidak bisa bergerak karenanya.

   "Sholat subuh, Mas," panggil Geladis seraya meremas-remas lengan keras Ryan, harap-harap Ryan mau bangun.

   Setelah penuh kesabaran membangunkan Ryan, akhirnya lelaki itu sadar juga dari tidurnya yang nyenyak sekali. Ryan menguap dan merentangkan tangan ke atas, meregangkat otot-ototnya yang kaku sebelum kembali merengkuh Geladis yang hendak bangkit, menjadikan Geladis jatuh kembali ke dalam pelukannya.

   "Pagi, Sayang," sapa Ryan dengan suara serak khas bangun tidur lalu menghujani wajah Geladis dengan kecupan-kecupan yang membuat Geladis geli.

   "M-Mas Ryan ...." Geladis kewalahan, bahkan tenaganya untuk mendorong dada itu menjauh tidak cukup kuat untuk sekadar menggerakkannya.

   Ryan terkekeh geli melihat pipi bersemu merah Geladis, mengangap itu lucu. Geladis menekuk wajah sebal dengan terang-terangan, bibirnya juga mengerucut kecil maju beberapa senti.

   "Tidak baik memasang wajah masam di depan Suami, Dek. Dosa," peringat Ryan lalu mencolek ujung hidung kecil Geladis.

   "Lebih berdosa lagi kalau meninggalkan sholat, Mas," balas Geladis tidak salah.

   Ryan lekas melihat jam digital di nakas pun terkejut ternyata sudah pukul setengah 5 yang artinya adzan telah lewat beberapa belas menit yang lalu. Tidak biasanya Ryan bangun lebih dari jam 4. Seperti memiliki alarm di bawah sadar, Ryan selalu terbangun sendiri di jam 3 atau 4 kurang beberapa menit. Sehingga ketika ia bangun pukul 4 lebih saat ini, tidak bisa dipungkiri ia terkejut.

   Ryan gegas turun dari ranjang kemudian membantu Geladis turun juga dan menuntunnya menuju kamar mandi. Setelah suci dan boleh beribadah, keduanya menunaikan salat subuh tanpa tergesa-gesa.

   "Aamiin ya rabbal'alamin ...," panjat Ryan di akhir doa setelah salatnya.

   Geladis mengamini untuk terakhir kali serta meraup wajahnya. Di depannya, Ryan memutar posisi duduknya menjadi menghadapnya dan mengulurkan tangan yang segera disalimi Geladis. Mendapati Geladis menggunakan pelipisnya untuk menyalami tangan Ryan, menyulut komentar Ryan saat itu juga.

   "Kalau salim dengan Suami itu yang benar, dicium yang benar," beritahu Ryan.

   Geladis melirik Ryan, namun tidak bisa membantah selain mengulang kembali salimnya dengan mencium punggung tangan Ryan dengan bibir. Ryan tersenyum puas lalu memegangi kedua sisi kepala Geladis, kemdian mengcium pipi kanan, kiri, dan dahi Geladis.

   "Berbagi kasih sayang dengan pasangan halal itu pahalanya banyak karena termasuk ibadah." Ryan mengusap-usap pelan pipi Geladis dengan ibu jarinya seraya mengatakan itu.

   Geladis diam karena paham dan tahu. Ryan sekali lagi mengecup dahi Geladis sebelum tangannya beranjak turun ke perut Geladis. Tangan besar itu mengelus-elus perut Geladis yang cukup besar dengan gerakan naik-turun. Ryan ingat Iffa memberitahunya bahwa di usia kehamilan ini, bayi sudah bisa menunjukkan pergerakan di dalam perut. Namun saat ini, Ryan tidak bisa merasakan gerakan apapun di sana.

   "Anak kita sudah pernah bergerak di perutmu, Dek?" tanya Ryan penasaran.

   Geladis ikut meletakkan telapak tangannya ke perutnya, menggeleng. "Belum pernah, Mas."

Untuk Tuan RyanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang