UTR 28

61K 7.6K 1.8K
                                    

Nomor satukan ibadah. Selamat membaca!

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

**

   "Benarkah?" Geladis berseru secara tidak sengaja dalam kondisi masih berdiri di depan etalase buah. Perempuan itu teramat bersemangat tatkala mendapat panggilan yang asalnya dari Bram—asisten pribadi Ryan—yang mana mengabarkan bahwa Ryan telah mengingat kembali beberapa memori.

   "Iya, Nyonya. Anda bisa datang ke mari untuk lebih mengetahuinya sendiri," jawab Bram dari seberang, di rumah, spesifiknya di kamar rawat Ryan tentunya.

   "Alhamdulillah. Aku segera ke sana." Begitu panggilan berhenti, Geladis gegas mengambil buah mangga tanpa memilah dahulu kemudian membayar semua belanjaannya di kasir.

   Beberapa memori itu sudah sangat bagus. Setidaknya ada dirinya di sana atau paling tidak ada Ghafi. Harapan Geladis begitu besar. Sebesar rindunya terhadap sorot mata Ryan di masa lalu yang teduh namun penuh kehangatan dan rasa melindungi. Di mana seolah-olah dirinyalah satu-satunya wanita di dunia ini.

   Namun, kebahagiaan yang menyelimuti hatinya sepanjang waktu ini pun dalam hitungan kurang dari sedetik menguap habis ketika dirinya sudah berdiri di hadapan lelaki itu yang duduk menghadap samping dengan kaki menggantung namun tetap menapak lantai karena ketinggiannya. Lelaki itu, suaminya, Ryan baru saja mengakui hal yang membuat bibirnya tertekan begitu rapat saat ini.

   "Maaf, saya masih belum mengingatmu," ungkap Ryan lagi.

   Butuh sepersekian detik untuk Geladis membuang napas yang ia tahan dan melonggarkan rahangnya yang terkatup erat.

   Geladis tersenyum. "Tidak apa-apa, Mas. Nanti kamu juga akan ingat."

   Ryan menatap lekat-lekat wajah mungil perempuan di hadapannya yang sedikit dihiasi bulir-bulir keringat. Ia tahu perempuan itu, Geladis, berlari atau mungkin berjalan cepat ke mari dan entah dari mana. Meskipun sudah jujur, namun batu mengganjal di dadanya belum juga menghilang, malahan semakin berat saja.

   Tangan Ryan lantas terulur dan berhenti dengan canggung di depan tangan Geladis yang saling bertautan di depan perut. Sekali lagi mata Ryan melirik wajah Geladis guna mencari kesalahan di sana.

   "Saya boleh menyentuh tanganmu?" tanya Ryan sopan dan lembut.

   Pertanyaan terbilang konyol itu sukses membuat Geladis terkekeh pelan. Mendadak sikap Ryan berubah ketika sebagian memorinya kembali. Geladis lagi lagi seperti dihadapkan dengan Ryan yang baru lagi.

   Mengangguk, Geladis menjawabnya dengan itu.

   "Mas Ryan lupa kalau aku istri Mas Ryan?" Demi Allah, geli sekali perutnya.

   Ryan menggigit sedikit bibir bawahnya, menahan malu. Sementara itu, tangannya bergerak kembali untuk meraih tangan Geladis yang terasa dingin. Ia menggenggamnya—setengah meremas—sebelum menariknya pelan namun berhasil membuat tubuh Geladis tergerak ke arahnya hingga kini jarak di antara mereka sungguh dekat.

   "Ingatan saya banyak yang kembali, termasuk saya ingat kalau lelaki dan perempuan tidak boleh saling bersentuhan secara sengaja." Penuturan Ryan terdengar jelas meskipun lelaki itu tidak membuka mulutnya dengan sungguh-sungguh.

   "Tapi aku istrimu dan kamu suamiku. Kita halal bersentuhan, Mas." Geladis berkata pelan.

   "Hm, ya." Ryan mengedikkan bahunya.

   Alis Geladis sedikit mengerut akan respon Ryan. Seperti benar-benar yang ditemuinya ini adalah Ryan yang baru, lagi. Sebegitu besar pengaruh ingatan terhadap sikapnya.

Untuk Tuan RyanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang