UTR 32

38.2K 5K 756
                                    

Jangan lupa ibadah, selamat membaca!

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم

**

   "Terima kasih sudah mau direpotkan selama ini, ya, Dis."

   "Jangan sungkan, Mbak Dara. Aku senang bisa membantu."

   Kedua perempuan itu tengah menikmati teh buatan Geladis di ruang tamu. Genap satu bulan Dara kerap datang ke rumah Geladis untuk belajar menjadi perempuan muslim pada umumnya yang ternyata banyak sekali hal-hal keliru, salah satunya dalam ibadahnya. Guru yang mengajarinya semasa di sekolah tidak secara detail memberinya pengetahuan agama sehingga ia sering lupa-lupa ingat tentang akidah dan ilmu fikih.

   Namun mengutip kata Geladis yang mengatakan padanya bahwasannya Allah Maha Pengampun selama hamba-Nya ingin meminta, maka tiada halangan baginya untuk yakin bahwa ibadahnya diterima-Nya karena ia termasuk rojulun laa yadri wa yadri annahu laa yadri atau seseorang yang kurang berpengetahuan dan sadar akan kekurangannya itu kemudian berusaha mencari ilmu dengan belajar. Manusia ini jauh-jauh lebih baik daripada mereka yang merasa paling tahu namun pada kenyataannya tak memiliki dasar ilmu sama sekali, na'udzubillah.

   Geladis mengambil cangkir tehnya setelah memangku Ghafi yang sempat merengek di dekat kakinya. Begitu jatuh ke dekapan sang Bunda, anak kecil itu sontak asik bermain dengan ujung kain kerudung bundanya. Sementara itu Geladis menyesap pelan-pelan air teh sembari memikirkan satu hal yang mengganjal di hatinya semenjak kedatangan Dara 30 hari yang lalu. Hingga detik ini, Dara masih belum memberitahunya siapa sosok itu, tambatan hati Dara yang sampai-sampai membuat Dara melakukan perubahan besar ini.

   "Jadi, Mbak Dara, siapa orangnya?" tanya Geladis dengan nada dibuat-buat sesantai mungkin.

   Dara terkekeh. "Kamu masih penasaran?"

   Geladis berdeham. Ia tak mau berbohong yang tiada faedahnya selain menambah dosanya sehingga ia jujur dengan menganggukkan kepala.

   "Baiklah, aku akan memberitahumu, tapi ...." Dara menjeda perkataannya dan meletakkan cangkirnya ke meja. "... tunggu sampai Ryan pulang karena aku juga ingin memberitahunya," sambungnya santai.

   Sangat terkejut, namun Geladis mati-matian menahan emosi itu agar tidak sampai tampak jelas di wajahnya. Senyum masih terpasang di sudut bibirnya, tidak dengan matanya yang mulai berkaca-kaca. Dara tidak menyadarinya karena terlena akan kelucuan Ghafi di pangkuan Geladis. Perempuan itu dengan gembira menggoda anak kecil itu tak tahu menahu ada perempuan lain yang hatinya sedang tidak baik-baik saja.

   "Mas Ryan sepertinya pulang larut. Apa kamu akan menginap?" tanya Geladis dengan kepala menunduk.

   "Oh? Jika kalian membolehkan tentunya," sahut Dara tanpa mengalihkan pandangannya dari Ghafi.

   "Apa kamu tidak takut ditolak lelaki itu, Mbak Dara?"

   Dara melihat Geladis yang turut sedang melihat ke arahnya. Kedua perempuan itu memiliki arti tatapan tersendiri di dalam mata mereka. Kepercayaan diri pada Dara yang Geladis lihat membuat getir Geladis. Namun ia tak ingin memalingkan wajah, seakan-akan Ryan bisa kapan saja diambil olehnya jika ia menghindar. Tidak, Geladis tidak mau kalah dari Dara.

   Namun diamnya Dara lama-kelamaan membuat Geladis tak tahan. Ia tak sabar ingin mengetahui siapa lelaki itu karena duduk dengannya seperti ini hanya akan membuang-buang waktunya dan tidak memperoleh apa-apa sampai Ryan pulang. Dengan membawa putranya, ia berdiri.

Untuk Tuan RyanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang