UTR 15

69.8K 8.4K 184
                                    

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

UTR update lagi, selamat membaca dan jangan lupa ibadahnya💘

**

   Kepala Geladis dari tadi menolah-noleh ke kanan lalu ke kiri tatkala matanya sibuk mengikuti alur truk dan material-material bangunan yang dibawa ke sana ke mari. Heran. Apa yang ingin Ryan bangun di rumahnya yang menurut pandangan Geladis sudah lengkap fasilitasnya? Pelayan di sampingnya yang bernama Nisah pun ketika ditanya sama-sama tidak tahu jawabannya.

   "Nisah benar-benar tidak tahu?" tanya Geladis memastikan.

   Nisah mengangguk. "Iya, Nyonya. Kami—para pelayan—tidak tahu."

   "Jujur?" Apa salahnya memastikan kejujurannya? Barangkali Ryan sengaja tidak memberitahu dirinya saja di rumah.

   Mendapati ketidakpercayaan melintas di mata nyonyanya, Nisah mengangguk serius—kepala menunduk dalam dan menaik-turunkan kepala dengan gerakan kuat. Geladis melihatnya sebagai final, tidak lagi bertanya, melainkan kembali fokus pada orang-orang berhelm proyek itu.

   Beberapa jam yang lalu, Ryan berpamitan ke kantornya. Karena tidak ada kesibukan mendesak di rumah, pemimpin perusahaan NAGARA Corp. itu wajib berada di tempatnya di perusahaan terlepas ada tidaknya panggilan rapat. Namun, Geladis tahu tanpa Ryan mengatakan padanya pun jika pasti selalu ada kesibukan di kantor suaminya itu. Pasti, tidak ada keraguan. Lagipula, siapa Tuan Ryan Malik Nagara? Bukan orang sembarangan di kota ini. Bahkan, namanya sedang melejit naik di mana-mana, termasuk media-media pemberitaaan tentang prestasi-prestasinya.

   Terlepas dari kepopuleran suaminya, Geladis lebih kagum akan akhlaknya. Ya, hal pertama yang sukses membuka gembok hatinya, sekaligus sebagai pembuktian bahwa hati Geladis memang seluas itu. Perempuan mana yang justru kagum pada orang yang telah menodainya di saat mereka masihlah sepasang orang asing? Sepertinya, hanya Geladis Amaira orangnya.

   Geladis balik badan masuk ke dalam rumah setelah batuk-batuk kecil yang disebabkan oleh debu dari material-material yang dibawa truk. Nisah mengikuti, berupaya memegangi Geladis namun perempuan itu tertolak oleh nyonya mudanya itu, untuk kesekian kalinya.

   "Sudah kukatakan, aku bisa berjalan sendiri." Itu kalimat penolakan Geladis ketika dirinya dibantu oleh orang-orang untuk berjalan dengan memegangi lengannya. Memangnya ia apa? Lansia? Ia masih muda, sehat, dan bugar.

   Kehamilan ini bukan apa-apa baginya. Bukan ia jadi sulit berjalan dan mudah tersandung. Bahkan jika diijinkan, ia bisa memanjat pohon jambu biji muda seperti yang kerap ia lakukan ketika masih di rumah neneknya, membantu anak-anak itu mendapatkan buah berdaging putih dan berbiji banyak itu. Hanya saja, setiap kali ia bercerita pada Ryan akan hal itu, Ryan acap kali tertawa kemudian menebang pohon belimbing di samping rumah. 

   Sayang sekali. Padahal belimbing itu masih dalam masa pertumbuhan. Dan Geladis yakin, dalam beberapa bulan belimbingnya sudah bisa dipanen dan buahnya pasti manis. Memikirkan pohon belimbing yang sudah musnah dari tanah Tuan Ryan, Geladis jadi ingin makan buah itu.

   "Nisah, jangan katakan pada Mas Ryan kalau aku keluar," ujar Geladis seraya menyandang tas selempang ke bahu kanannya.

   Nisah awalnya mengangguk, hingga ia sadar apa yang baru saja nyonyanya katakan. Ia terkejut dan segera menyusul Geladis yang sudah beberapa meter jauhnya darinya.

   "Tunggu, Nyonya. Anda ingin pergi ke mana?" tanya Nisah di tengah perjalanannya.

   "Aku hanya membeli belimbing. Aku tidak akan lama." Geladis mengibas-kibaskan tangannya sebagai isyarat agar Nisah menjauh dari jalannya.

Untuk Tuan RyanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang