Nomor satukan ibadah, kawan. Baik, selamat membaca.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
**
Langit masih belum cukup cerah setelah hujan gerimis, namun ruangan luas yang menjadi tempat beristirahat sepasang suami istri itu telah terdengar suara tangisan bayi. Sebenarnya bukan hal baru Ghafi sulit ditenangkan, bahkan dengan mainan kesukaannya. Namun, untuk Geladis yang masih memiliki pekerjaan melayani Ryan yang sebentar lagi berangkat ke kantor ini cukup memusingkannya.
Segala upaya membuat tangisan itu berubah tawa sudah Geladis lakukan, namun Ghafi masih enggan berhenti mengeluarkan suara menyedihkan dan lelehan air mata dari sudut matanya. Termasuk memberinya ASI pun masih tidak membuahkan hasil.
Sesekali Geladis melirik walk in closet, barangkali Ryan sudah selesai mandi. Menjadi seorang istri sekaligus ibu bukanlah perkara mudah. Banyak hal perlu dipertimbangkan juga dikorbankan, termasuk waktu dan tenaga. Istri yang baik belum tentu bisa menjadi ibu yang baik. Namun, ibu yang baik sudah pasti juga istri yang baik. Oleh sebab itu, kedudukan seorang ibu sangatlah mulia. Sehingga merupakan suatu kebanggaan dan kehormatan besar bisa menyandang status ibu.
Geladis cukup kaget melihat Ryan keluar dari walk in closet sudah dalam keadaan berkemeja dan celana bahan. Lelaki itu segera mengambil alih Ghafi dari lengan Geladis untuk digendongnya sembari ditenangkan. Mata Geladis kemudian melirik jam digital di atas nakas pun terkejut lagi.
"Ya Allah, Mas. Sudah hampir jam 10!" Geladis kelabakan sendiri dan gegas ingin mengambil Ghafi kembali. "Mas Ryan siap-siap saja. Nanti terlambat rapatnya kalau menunggu Ghafi berhenti menangis."
Seakan perkataan Geladis hanyalah angin lalu, Ryan sama sekali tidak melepaskan Ghafi dan terus menenangkannya. Mendapati Geladis masih bermuka panik, Ryan dengan santainya hanya tersenyum.
"Carikan dasi saya," kata Ryan segera dilaksanakan oleh Geladis.
Sembari menunggu Geladis mencari-cari dasi untuk Ryan, Ryan terus menenangkan tangisan Ghafi. Memang Ghafi masih menangis, namun volume dan isakannya sudah banyak berkurang. Anak laki-laki itu kini terisak-isak kecil di lengan Ryan.
Geladis akhirnya mendapatkan dasi yang sesuai untuk pakaian Ryan pun segera menyerahkan benda itu pada suaminya. Namun, Ryan malah menolak.
"Pakaikan ke leher saya. Kamu bisa mengikat dasi, kan?" Geladis meremas kain panjang itu sembari melipat bibirnya ke dalam. Dengan kepala merendah Geladis menggeleng.
Mengetahui hal itu, Ryan tidak marah dan masih mempertahankan senyumannya. Diserahkannya Ghafi kembali ke pelukan Geladis, sedangkan Ryan memakai dasinya sendiri. Sembari mengguncang-guncang pelan Ghafi di lengannya, netra Geladis memperhatikan setiap langkah mengikat dasi yang sedang Ryan lakukan di depannya. Ke mana arah melipatnya, berapa kali melilitkannya, dan sampai merapikan kerutan-kerutan kecil setelah selesai. Semua Geladis tanamkan di dalam otaknya.
Sisanya, Ryan melakukan sendiri. Dari memakai kaus kaki, sepatu, sampai jasnya pun Ryan pakai sendiri tanpa campur tangan orang lain, termasuk Geladis yang sedari tadi hanya memperhatikannya mondar-mandir di hadapannya.
Geladis sejatinya tidak diam membisu saja melihat suaminya sibuk mempersiapkan dirinya sendiri. Sudah berulang kali ia menawarkan bantuan, namun ditampik oleh Ryan. Ryan marah padanya? Tidak. Ryan tidak akan tersenyum selembut itu tiap kali melirik istrinya yang sedang menggendong anak mereka jika benar lelaki itu marah. Tidak ada yang bisa disembunyikan dari sebuah senyuman. Bahkan senyuman yang dipaksakan pun masih akan kelihatan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Tuan Ryan
RomanceGeladis diambil kesuciannya oleh seorang lelaki tidak dikenalnya 4 bulan yang lalu dan kini tengah mengandung anak lelaki itu. Usut punya usut, lelaki asing itu ternyata seorang direktur utama sebuah perusahaan besar. ** Geladis Amaira sudah kehilan...