UTR 9

98.4K 11.3K 944
                                    

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Selamat membaca! <3

**

   Ryan mengusap naik turun punggung Geladis di dalam dekapannya. Bahu kecil itu terguncang dan isakan-isakan pilu menyayat hati Ryan sebagai pendengarnya. Kepala Geladis terkubur di dada Ryan dan Ryan dapat merasakan kausnya yang basah pada bagian itu.

   "Sudah, Dek," bujuk Ryan lembut, tangannya naik membelai kepala Geladis. Tidak ada respon yang diperoleh Ryan, menjadikan Ryan berinisiatif mengajak Geladis pulang saja.

   "Kita pulang saja, ya?" Ryan diam sejenak, menunggu, barangkali Geladis ingin mengatakan sesuatu.

   Lagi-lagi nihil, Ryan pun membuang napas panjang. Ryan mau tidak mau melonggarkan rengkuhannya. Didapatinya kepala menunduk Geladis dengan bahu yang masih naik turun dan sedu sedan lirih. Tanpa melepas pergelangan tangan Geladis, Ryan balik badan, berjongkok di depan kaki Geladis.

   "Naik ke punggung Mas, biar Mas gendong," pinta Ryan sembari menarik pergelangan tangan tipis itu agar tubuh Geladis merapat ke punggungnya.

   "Ti-tidak ..., aku berat ...." Geladis menolak di sela isakan pelannya.

   "Kamu tidak berat dan saya kuat. Naiklah," bujuk Ryan lalu menepuk punggungnya yang membusur.

   Geladis masih diam di sana dan matahari makin terik di atas. Ryan pun berdiri lagi, tidak putus asa untuk menggendong Geladis, namun kali ini ia ingin melakukannya di depan. Oleh sebab itu, tangannya segera menyelip ke belakang lekukan lutut dan punggung Geladis. Satu tarikan napas mengangkat tubuh Geladis ke gendongan ala bridal style.

   Geladis terkejut dan refleks mengalungkan tangannya ke leher Ryan. Geladis segera menyembunyikan wajahnya ke bahu Ryan karena malu jika Ryan melihat wajah menangisnya yang jelek. Ryan pun angkat kaki dari tempat itu dengan membawa Geladis di lengannya.

   Mereka tiba di rumah setelah perjalanan selama kurang lebih 10 menit, lebih cepat dari keberangkatan mereka karena dengan begini Ryan bisa melangkah lebar-lebar dengan kaki-kaki jenjangnya. Wajah Ryan sepanjang jalan pun datar sekali—seperti julukannya Tuan Muka Tembok—tanpa menaruh sedikit pun perhatian pada pengguna jalan yang kemungkinan mengenalinya dan menatapnya heran karena tidak biasanya Tuan Ryan terlihat bersama seorang perempuan di luar kantor.

   Pelan-pelan Ryan meletakkan Geladis di sofa busa panjang, meluruskan kaki istrinya itu sampai hampir memenuhi sofa. Ryan berjongkok di samping kaki Geladis, melucuti tali sepatu Geladis, dan melepasnya sehingga hanya tersisa kaus kaki putih yang membalut kaki istrinya itu.

   Pindah ke depan, Ryan masih berjongkok di samping Geladis, mendongakkan kepalanya agar bisa melihat wajah Geladis yang ditutupi perempuan itu dengan kerudung merah mudanya.

   "Sudah, sudah, cukup menangisnya." Ryan membujuk seraya menyingkirkan pelan-pelan kain kerudung dan tangan Geladis dari depan wajah Geladis.

   Wajah Geladis terlihat, sesuai perkiraan Ryan wajah istrinya yang menggemaskan itu kini dibasahi air mata dan rona merah di ujung hidung dan kelopak mata yang sebab. Ibu jari Ryan gegas menyeka setetes air yang jatuh dari sudut mata Geladis.

   "Sayangnya Mas, sudah menangisnya, ya?" Suara lembut masih terus mengalir dari bibir Ryan walaupun itu sudah ke sekian kalinya terucap dan tidak dilaksanakan Geladis.

   "Tidak baik untuk anak kita. Nanti Dedek ikut sedih." Ryan mengelus perut Geladis.

   "Mas juga sedih kalo Dek Adis dan Dedek sedih," lanjutnya diakhiri embusan napas berat melalui hidung.

Untuk Tuan RyanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang