UTR 16

73.9K 9.6K 468
                                    

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Selamat membaca dan jangan lupakan ibadah~

**

   Sembari menenteng kresek hitam di tangan kanan, Geladis berjalan memasuki bangunan kantor Ryan. Agar tidak tersesat di jalan, tak lupa Geladis bertanya dahulu pada keamanan yang menjaga di pintu utama lantai dasar. Seorang pria berseragam hitam, bertubuh tinggi nan besar, cocok dengan profesinya.

   "Assalamu'alaikum."

   "Wa'alaikumsalam. Iya, Bu? Ada yang bisa saya bantu?" tanya pria itu ramah.

   Geladis tersenyum lega. Pasalnya, kejadian di taksi tadi masih menakutinya dan mendapati penjaga keamanan itu orang yang baik, bagaimana Geladis tidak mengucap syukur?

   "Ruangan Tuan Ryan ada di mana, ya?" tanya Geladis langsung pada inti.

   Tampak dari raut wajahnya, pria keamanan itu terkejut dan heran. Alis yang masing-masing menjorok ke dalam dan garis-garis di dahi tidak bisa menyembunyikan ekspresi itu dari Geladis.

   "Ada keperluan apa, Bu? Apa anda sudah membuat janji dengan Tuan Ryan?" Pria itu waspada. Bukan sekali dua kali terjadi keributan di sana yang asalnya dari orang tidak dikenal yang mengaku ingin bertemu dengan atasannya itu.

   Tentu saja kalau jujur Geladis tidak membuat janji dengan Ryan. Toh, buat apa ia melakukannya jika maksudnya datang ke mari saja ingin memberi kejutan kepada suaminya itu. Namun, ada keraguan pula bersarang di dadanya. Akankah baik-baik saja jika ia mengatakan bahwa dirinya merupakan istri Tuan Ryan? Apakah Ryan tidak akan terkena masalah? Karena sejauh ini, Ryan belum mempublikasikannya ke orang luar. Geladis mau menghargai itu.

   "Aku belum membuat janji dengan Tuan Ryan. Tapi, aku adalah keluarganya, bolehkah aku pergi?" Ayolah, semoga berhasil.

   "Keluarga? Maaf, saya belum bisa percaya penuh." Geladis merasakan tatapan menyelidik yang membuatnya merendahkan kepala. Sampai Geladis sadar bahwa tatapan pria itu jatuh pada kresek hitam di tangannya.

   Lekas-lekas Geladis menunjukkan isi kresek itu sekaligus menjelaskan dengan buru-buru. "Ini hanya buah-buahan untuk Tuan Ryan. Aku tidak membawa hal lain lagi."

   Pria itu memundurkan kepalanya lagi setelah memastikan isi benda plastik itu bukan bom seperti yang dipikirkannya. Bukan hal tabu jika ia berpikir demikian. Aksi-aksi mengatasnamakan jihad itu acap kali seliweran di pemberitaan. Penampilan pelakunya pun tidak jauh dari yang dikenakan oleh perempuan muda di hadapannya ini. Perempuan berpakaian syar'i terlepas yang ini tidak memakai cadar.

   "Walaupun demikian, anda tetap tidak boleh masuk sebelum menjalani pemeriksaan." Nada pria itu mendingin, tidak seakrab tadi lagi. Hati Geladis mengsedih, juga kaget mendengar kata 'pemeriksaan'.

   "Pemeriksaan apa?" kejut Geladis sembari melangkah mundur, menjauh dari pria besar itu.

   "Maaf, Bu. Jika anda masih ingin masuk, anda harus diperiksa. Ini salah satu prosedur keamanan kami," papar pria itu yang lalu memanggil salah seorang pegawai wanita yang kebetulan lewat.

   "Periksa ibu ini. Dia ingin menemui Tuan Ryan. Tapi aku tidak percaya dengan pakaiannya itu," kata pria besar itu pada si pegawai.

   Perempuan bersurai cokelat itu kemudian mengamati Geladis. Tubuhnya yang jauh lebih tinggi dari Geladis memberi suasana intimidasi pada Geladis yang menciut ketakutan—takut dianggap yang tidak-tidak. Di luar ekspektasinya, perempuan itu justru memukul lengan pria keamanan kemudian memarahinya.

Untuk Tuan RyanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang