UTR 12

90.2K 9.9K 339
                                    

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Selamat membaca! Jangan lupa ibadah!

**

   Tidak biasanya Ryan mengajak Geladis keluar rumah sebelum adzan subuh. Ketika ditanya pun Ryan tidak memberi jawaban. Dari yang Geladis tangkap, Ryan ingin mengajak Geladis menunaikan salat subuh di luar sebab Ryan memintanya membawa mukena, sedangkan penampilan Ryan sendiri juga seperti ingin beribadah.

   Peci hitam, baju koko putih, dan sarung biru gelap tampak menyamarkan ketegasan Ryan di hari-hari biasa, namun tetap memberinya kesan berwibawa dan berkarisma yang halal dinikmati Geladis. Ya, perempuan itu beruntung memiliki suami yang tidak kurang apa-apa di bagian fisik dan rohani.

   Tidak meleset, benar tebakannya bahwa Ryan membawanya ke sebuah masjid. Bukan masjid umum biasa, bahkan masjid sebuah pondok pesantren yang letaknya tidak jauh dari rumah.

   "Mas," panggil Geladis selepas mereka keluar dari dalam mobil yang disopiri sendiri oleh Ryan.

   Ryan menyampirkan sajadah yang dilipat menjadi lebih ramping di bahu kiri ketika Geladis memanggilnya. Lelaki itu menghampiri istrinya yang baru memakai mukena atas yang tadi dikenakan di dalam mobil.

   "Tunggu," perintah Ryan tersenyum tipis kemudian pergi ke belakang mobil dan membuka pintu bagasinya. Geladis mengikuti dan melihat banyak sekali kresek merah berisi nasi kotak di bagasi. Ryan membawa keluar kresek-kresek itu dibantu beberapa orang pengurus pondok pesantren.

   "Mas Ryan!" seru seorang anak laki-laki yang usianya mungkin masih 7 tahunan.

   Ryan memberi senyuman terhangatnya sembari mengusak puncak kepala anak itu yang tidak memakai peci. Melihat keduanya tampak akrab, bahkan si anak laki-laki sampai memanggil Ryan dengan sebutan 'Mas', Geladis menyimpulkan bahwa Ryan sudah biasa ke tempat ini.

   "Mas Ryan." Seorang lelaki muda, berusia 20 tahunan, mungkin, menghampiri Ryan. Pakaiannya sopan selayaknya orang pondok pada umumnya, menyalami tangan Ryan. Geladis merapat ke Ryan, berdiri di sampingnya dengan penglihatan pada lelaki muda itu.

   "Dek, ini Gus Faqih," ujar Ryan memperkenalkan lelaki di hadapannya pada Geladis.

   "Ini istri saya." Lalu alih Geladis yang dikenalkan ke Gus Faqih.

   Gus Faqih sempat terkejut lalu tersenyum kembali sembari menyatukan tangan di depan dada pada Geladis. Hal yang sama dilakukan Geladis dengan kepala merendah.

   "Lalu ini." Ryan menunjukkan anak laki-laki tadi pada Geladis. "Ini Afif."

   "Assalamu'alaikum," salam Afif sopan seraya menyatukan tangan di depan dada.

   "Wa'alaikumsalam," balas Geladis tersenyum sempurna.

   "Mas Ryan ternyata sudah menikah, saya tidak diundang," kelakar Gus Faqih.

   "Afif juga tidak diundang!" Afif ikut-ikut Gus Faqih, berseru lantang.

   Orang-orang dewasa itu tertawa mendengar Afif. Ryan meletakkan tangannya di kepala Afif lagi, tidak melakukan apapun selain hanya diam di sana.

   "Katanya, Afif mau menjadi hafiz Qur'an. Jadi, saya sengaja tidak mengundang Afif biar Afif fokus belajarnya," kata Ryan beralasan pada Afif yang air mukanya merengut.

   "1 hari saja ...," kilah Afif yang segera memperoleh teguran dari Gus Faqih.

   "Tidak ada satu hari satu hari. Benar kata Mas Ryan, kamu seharusnya fokus kalau ingin menjadi hafiz, Fif," tegas Gus Faqih.

Untuk Tuan RyanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang