UTR 27

51.9K 8.5K 2.1K
                                    

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

**

   "Buka mulutmu, Mas. Aaa ...." Geladis mengangkat sendok ke depan bibir pucat Ryan yang terkatup rapat. Perempuan itu berupaya menyuapi Ryan dan telah menunggu bubur itu cukup dingin untuk dimakan. Tidak ada kata-kata keluar selain gerakan membuka mulut dan membiarkan sesendok nasi lembek tak berasa itu ke dalamnya.

   Kedua panca indra Geladis mengamati serius wajah Ryan. Ada raut khawatir tercetak di sana pula meskipun tipis-tipis.

   "Buburnya panas, Mas?" tanyanya hati-hati.

   Ryan diam sejenak lantas menggeleng pelan sembari melanjutkan aktivitasnya tanpa menimbulkan sedikitpun suara. Geladis menghela napas lalu meneruskan pekerjaannya sampai mangkuk putih di tangannya itu kosong.

   "Alhamdulillah, sudah habis," ucap Geladis senang kemudian meletakkan mangkuknya ke atas nampan.

   "Mas, aku bawa Ghafi ke mari, ya?" Meskipun tidak ada yang melarang, Geladis tetap menanyakan persetujuan dari Ryan untuk membawa anak mereka masuk. Ia masih takut Ryan merasa terganggu terlebih lagi Ghafi sering rewel dan menangis keras, terlepas Ryan sudah diberitahu bahwa Ghafi adalah putranya.

   Lagi-lagi Ryan tidak bicara melainkan menggerakkan kepalanya saja, mengangguk, itupun pelan sekali. Geladis meringis gembira lalu beranjak dari kamar itu bersama nampan di tangannya. Tidak lama berselang, pintu kamar terbuka kembali disusul kemunculan perempuan berpakaian syar'i tengah menggendong seorang bayi menggemaskan.

   Seperti yang sudah-sudah, Ghafi selalu heboh ketika melihat ayahnya. Bayi itu bergerak gelisah di lengan Geladis, terlihat ingin lepas dari kungkungan ibunya itu. Jika Ghafi dapat berjalan, anak itu sudah pasti akan melompat ke pelukan ayahnya.

   "Sayang, jangan seperti ini," bujuk Geladis pelan seraya membenarkan posisi Ghafi.

   Entah mewarisi sifat keras kepala siapa, Ghafi kini merengek dan tetap menggerakkan anggota badannya. Lama-lama Geladis kewalahan juga, apalagi fakta perempuan itu bertubuh mungil dan agak kurus kembali tidak dapat disangkal.

   Iris Geladis melirik Ryan yang sedari awal hanya memperhatikan. Mengingat sedikit memori ketika kejadian yang sama di masa lalu terjadi, Ryan akan tangkas mengambil alih Ghafi dan menenangkan putranya itu dengan menyahuti celotehannya yang tidak jelas.

   "Ayah masih sakit, Sayang. Jangan dulu, ya?" Tak ada hal lain lagi selain bujukan pelan-pelan penuh pengertian yang dapat Geladis berikan pada Ghafi.

   Sudah 4 hari semenjak Ryan siuman. Selama itu pula Ryan tidak mengingat apapun tentang dirinya sendiri. Lelaki itu benar-benar amnesia total. Jangankan untuk mengingat orang baru seperti Geladis dan Ghafi selaku istri dan anaknya sendiri, kedua orang tuanya saja ia tidak mengenali. Mengetahui fakta ini, Hanifah sungguh dibuat hancur hatinya dan terdengar kabar wanita itu tidak mau makan beberapa harian ini.

   "Mas Ryan." Tiba-tiba Geladis menyebut.

   Lelaki yang tadinya memperhatikan bayi berusia 5 bulan di gendongan perempuan di samping ranjangnya itu pun beralih perhatiannya menjadi sepenuhnya pada si ibu bayi tersebut. Tatapannya masih kosong selayaknya tengah mengamati orang asing yang tak pernah ditemuinya.

   Geladis gigit bibir. Setiap kali hal ini terjadi, hatinya bagai ditusuk sembilu. Namun, sehebat mungkin ia menyembunyikan rasa ingin menitikkan air mata saat itu juga.

   "Ingat, ini anakmu," kata Geladis dengan suara pelan dan senyuman selembutnya. "Dan aku istrimu, Mas," tambahnya tanpa membalas tatapan Ryan.

   Ini usaha Geladis untuk selalu mengingatkan Ryan dengan harapan lelaki itu bisa ingat kembali walaupun terdengar mustahil.

Untuk Tuan RyanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang