Dilarang baca pas jam ibadah. Ibadah dulu, wajib.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
**
“Setelah serangkaian pemeriksaan medis tadi saya nyatakan ginjal kalian cocok sehingga kita bisa mulai operasi nanti siang. Persiapkan diri, terutama mental karena dari yang saya ketahui anda sudah pernah menjalani operasi sebelumnya. Dan juga saya minta untuk berpuasa sebelum operasi dilakukan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan ketika operasi berlangsung." Dokter mengantar Geladis sampai ke pintu keluar, menemui keluarganya di ruang tunggu.
"Terima kasih, Dok." Geladis mengangguk kecil kemudian pergi menghampiri Hanifa yang masih tak hentinya menitikkan air mata.
"Bagaimana, Nak?" tanya Hanifa berniat bangun, namun Geladis menahannya dan memintanya duduk kembali.
"Alhamdulillah, Ma."
Mereka tidak tahu harus senang atau sedih. Di satu sisi nyawa Ryan bisa tertolong, sedangkan di sisi lain Geladis harus diangkat satu organ ginjalnya yang mana itu bukan perkara mudah. Sama halnya pengorbanan Ryan untuk Tuan Achmad, kini Geladis yang berkorban untuk Ryan.
Jika Ryan tidak membantu Tuan Achmad, Tuan Achmad tidak akan pernah mengenal Ryan dan menjadikannya anak angkat. Jika takdir berkata lain, Ryan mungkin masih akan kesulitan membayar tagihan di kontrakan kecil nan sempit mereka atau keberatan membeli sembako untuk kehidupan sehari-hari di kota besar yang tidak murah sama sekali. Ryan mungkin juga putus sekolah dan keluarga Pekanbaru masih akan mengolok-olok mereka yang miskin.
Namun, sudah terlambat mengatakan 'jika saja' sekarang karena tiada kebetulan di alam semesta ini. Semuanya merupakan campur tangan Allah Swt., tulisan tangan Yang Maha Perkasa yang amat indah dan tak disangka-sangka. Skenario-skenario di luar nalar manusia ini memang ada sebagai bukti bahwa kuasa-Nya mutlak, tak terkalahkan oleh ilmu Sains mana pun mau sehebat apapun makhluk ciptaan-Nya. Bagi mereka hamba-hamba-Nya hanya perlu menjalani tanpa penyesalan akan masa lalu yang telah berlalu.
"Ma, Geladis ke mushola dulu." Geladis berdiri ketika Hanifa memberinya anggukan kepala.
Hari belum benar-benar memasuki siang dan daripada berdiam diri dengan rasa gugup tak karuan menunggu waktu operasi tiba, Geladis memilih untuk memanfaatkan waktu untuk melaksanakan salat Duha. Meminta pertolongan kepada Sang Khaliq, berharap segala urusannya dilancarkan.
Ketika salat ditegakkan, begitu dalam hatinya berserah sampai ke dasar kepada tuhannya di setiap sujud yang panjang dan khusyuk sampai-sampai air matanya terus mengalir membasahi alas salatnya. Karena jarak dikabulkannya doa seorang hamba oleh Allah dikatakan hanya berkisar antara kening dan sajadah, demikian yang ia rasakan ketika berada di posisi ini Allah seperti sedang betul-betul mengasihinya. Hanya kekuatan doa yang bisa membengkokkan takdir. Maka jika takdir itu buruk, ia akan berdoa dengan sepenuh hati agar takdir ditulis kembali dengan hasil yang baik. Semoga, semoga, semoga.
Dua jam sebelum tindakan operasi, Geladis kembali ke gedung rumah sakit. Meskipun hidung kecilnya merah akibat terlalu banyak menangis, setidaknya teguhnya semakin mantap. Sebagaimana yang tertuang di dalam Surah Maryam ayat kempat, "... dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Tuhanku." Geladis pun harus percaya bahwa Allah memiliki hal baik untuknya seperti yang telah ia doakan.
"Buna!" Suara anak-anak melantun nyaring dari arah ruang tunggu membuat Geladis sempat terkejut sebelum menyunggingkan sebuah senyuman setulus mungkin kepada sang putra agar kecil yang tak tahu apa-apa itu tidak tahu bahwa ibunya jiwanya tengah terluka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Tuan Ryan
عاطفيةGeladis diambil kesuciannya oleh seorang lelaki tidak dikenalnya 4 bulan yang lalu dan kini tengah mengandung anak lelaki itu. Usut punya usut, lelaki asing itu ternyata seorang direktur utama sebuah perusahaan besar. ** Geladis Amaira sudah kehilan...