UTR 7

104K 12.4K 1.1K
                                    

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Selamat membaca!

**

   Makan siang kali ini di rumah Ryan juga dihadiri oleh kedua orang tua, Asgam, dan Iffa, menjadikan meja panjang itu penuh. Walaupun nafsu makannya sedang tidak baik, Geladis tidak bisa menolak makanan. Hanya saja, porsinya lebih sedikit dari biasanya.

   "Setelah menikah, wajahmu menjadi lebih bercahaya, Ryan," kelakar Iffa.

   "Tentu saja. Tuan Ryan itu suka sekali berwudhu, tentu wajahnya bercahaya," timpal Asgam.

   "Hei, kamu masih memanggilnya Tuan di sini?" Iffa menyikut lengan Asgam.

   "90 persen hidupku di kantor, menjadi bawahan Tuan Ryan. Lagipula, panggilan itu sebagai bentuk penghormatanku padanya," jelas Asgam bijak.

   "Ya, Asgam selalu hormat pada Ryan. Lalu, kenapa kamu tidak datang saat akad tadi?" tanya Agung yang duduk di ujung.

   "Istriku ada arisan sehingga aku harus mengantar putraku ke sekolah. Aku tidak tahu kalau putraku akan menahanku di sana sampai sekolah selesai," cerita Asgam, wajahnya kecut mengingat tangisan putranya di sekolah tadi.

   "Ah, iya!" Agung tiba-tiba berseru. Pandangannya lalu beralih pada Ryan dan menantu barunya. "Jika cucuku nanti perempuan akan sangat bagus bisa kita jodohkan dengan putra Asgam," papar Agung kemudian.

   "Aku tidak sabar melihat cucu perempuanku." Agung tersenyum senang pada orang-orang di sana.

   Geladis terkesiap di sana, meskipun perkataan Agung tidak terduga, ia tetap membalas senyuman mertuanya itu. Di sisi lain, Ryan mengambil gelasnya dan menenggak air di dalamnya kemudian berdeham. Dehaman yang menyedot atensi orang-orang di meja makan itu.

   "Mau perempuan atau laki-laki, mereka sama saja. Laki-laki bisa menjadi teman bermain Daffa—anak Asgam—nantinya." Di akhir kalimatnya, Ryan menolehkan kepala pada Geladis, memberinya senyuman tersejuk yang pernah dilihat Geladis.

   "Saya tidak peduli anak saya laki-laki atau perempuan. Apapun gendernya, mereka tetap akan saya sayang," imbuh Ryan.

   "Ya, tapi lebih baik—"

   "Pah, sudah ...." Hanifa menghentikan suaminya yang mau bicara macam-macam itu. Hanifa paham sekali betapa sensitifnya hal ini, terutama Geladis sedang hamil dan hormon ibu hamil itu kerap kali sensitif—emosi tidak terkendali.

   Agung akhirnya menutup bibirnya juga dan melanjutkan santapannya yang belum selesai. Alasan Agung sangat menginginkan cucu perempuan tidak lain karena Agung tidak bisa memiliki anak perempuan. Hanya Ryan yang ia punya, Hanifa kerap keguguran ketika mengandung adik-adik Ryan sampai diputuskan untuk Hanifa berhenti program hamil dan sekarang sudah menopause.

   Geladis sekali lagi menengok Ryan yang juga sedang melanjutkan acara makannya, merasa sangat bersyukur memiliki support system sepertinya. Tidak tahu jika tidak ada Ryan, mungkin Agung akan terus menyebutkan soal cucu perempuan. Bukannya Geladis tidak mau anaknya nanti lahir perempuan. Hanya saja, ditakutkan ketika anaknya ternyata laki-laki, anaknya akan kurang kasih sayang.

   "Geladis," panggil Iffa dari kursi di ujung. Begitu Geladis memberikan atensinya padanya, Iffa melanjutkan, "Kelas prenatalnya dimulai minggu depan, ya."

   "Kelas prenatal?" ulang Geladis yang tidak tahu apa itu 'kelas prenatal'.

   "Kelas untuk ibu hamil," terang Ryan langsung.

Untuk Tuan RyanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang