UTR 13

80.5K 9.5K 636
                                    

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Selamat membaca dan jangan lupa ibadah~

**

   Geladis menunggu dengan cemas di depan kamarnya dan Ryan. Bukan dirinya yang menghubungi Dokter Dikta, melainkan Bram. Tiba-tiba saja Ryan memerintahnya untuk menyuruh Bram menelepon dokter yang ternyata kenalan Ryan sekaligus dokter pribadi Ryan. Tidak ada keheranan sama sekali terlepas Geladis tidak diperbolehkan masuk ke dalam kamar.

   "Mereka lama sekali." Geladis mengusap perutnya khawatir.

   "Tuan Ryan akan baik-baik saja, Nyonya," ujar Bram mencoba menenangkan majikannya itu.

   "Aamiin allahumma aamiin."

   Penantian cukup lama mereka itu akhirnya berakhir juga setelah pintu kamar itu terbuka ke dalam, disusul kemunculan seorang lelaki berpakaian rapi, kacamata berbingkai hitam bertengger di pangkal hidungnya yang tinggi, Dikta Jafran. Di tangan Dikta ada tas yang dijinjing lelaki itu, menandakan pemeriksaan dan pengobatan Ryan sudah selesai.

   "Bagaimana keadaan Mas Ryan, Dok?" Geladis gegas bertanya tanpa bergerak dari tempatnya, tanpa mendekat ke Dikta.

   Raut muka Dikta tidak mengenakkan, membuat was-was dan dugaan-dugaan buruk Geladis sepertinya nyata. Pisau itu banyak darahnya, darah Ryan. Apakah separah itu sampai-sampai Dikta berekspresi demikian?

   Dikta mendorong kacamatanya ke atas, melihat sekilas Geladis selaku istri Ryan melalui kaca tembus pandang pembantu penglihatannya.

   "Aku tidak menyangka lukanya akan sedalam itu—" Belum selesai Dikta bicara, Geladis sudah menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangan, terkejut bukan main.

   "Ryan kehilangan banyak darah. Dia mengalami pendarahan yang cukup hebat tadi."

   Bertambahlah pikiran Geladis. Air sudah berkumpul di pelupuk matanya dan bisa jatuh kapan saja. Namun, Geladis menguatkan diri untuk tidak menangis saat ini juga. Tidak hanya perempuan itu, Bram pun ikut kaget mendengar keadaan tuannya. Posisinya yang dekat dengan Dikta memungkinkannya bisa meneliti ekspresi di wajah dokter itu dan yang ia temukan memang Dikta serius.

   "Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit?" tanya Bram.

   Dikta melemaskan sudut bibirnya, mengukir senyuman yang begitu tipis. "Aku sudah merawat dan membalut lukanya. Sekarang sudah baik-baik saja. Tidak, tidak sebaik itu, tapi Ryan tidak perlu dibawa ke rumah sakit. Pendarahannya sudah berhenti. Sekarang, Ryan sedang istirahat. Aku memberinya obat bius agar dia tidak merasakan sakit," papar Dikta.

   "Tapi, bukankah lebih baik Mas Ryan dirawat di rumah sakit kalau-kalau terjadi sesuatu?" Geladis bersuara.

   Dikta kembali memusatkan perhatian pada Geladis, senyuman masih ada di ujung bibirnya. "Tidak." Dikta menggeleng.

   "Cukup hubungi aku saja. Ryan tidak perlu dibawa ke rumah sakit," ujar Dikta. "Baiklah, aku pamit."

   Bram kemudian mengantar Dikta sampai gerbang, sedangkan Geladis masuk ke dalam kamar dengan penuh kehati-hatian. Melihat suaminya yang selalu sehat dan bugar kini terbaring di bawah selimut dengan air muka tenangnya yang seolah-olah jiwanya sedang tidak ada di sini benar-benar menyayat hati Geladis. Pelan-pelan Geladis duduk di tepi ranjang yang tersisa sedikit tempat kemudian menelusuri tubuh Ryan dengan tatapan pilu.

   Tangan Geladis beristirahat di atas punggung tangan Ryan yang diletakkan di atas perut. Suhunya hangat, memberi aliran ketenangan di dada Geladis karena membuktikan bahwa Ryan masih hidup. Ya, Ryan memang masih bernapas, masih bernyawa, masih ada di sini bersamanya. Geladis menekankan kata-kata itu di benak dan hatinya.

Untuk Tuan RyanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang