UTR 31

41.5K 4.9K 553
                                    

Assalamualaikum, update lagi, ya temen-temen

500 komentar buat lanjut ya sambil nunggu chapter selanjutnya ^^

Jangan lupa ibadah, selamat membaca!

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم

**

   Sudah menjadi rutinitas pokok yang tak bisa lepas dari sosok Ryan, yakni lari pagi setiap harinya. Setelah menjalani selama bertahun-tahun, dampak positif yang diperolehnya tidak main-main. Dijauhkan dari sifat malas menjadi salah satu manfaatnya walaupun Ryan masih harus pergi ke kantor setelah ini.

   Melihat ke belakang, senyum terurai di wajahnya. Bukan maksud meninggalkan sang istri dengan kereta dorong bayi, sepasang suami istri itu telah membuat kesepakatan untuk tidak saling menunggu. Yang dibutuhkan Ryan adalah lari, sementara Geladis tidak mungkin kuat barang mengelilingi bangunan rumah Ryan sekali. Sebagai gantinya, Geladis akan hanya jalan-jalan dengan kereta dorong di mana Ghafi duduk di dalamnya. Hitung-hitung sembari mengenalkan Ghafi dengan alam ciptaan Allah Yang Maha Kuasa yang indah tiada tara.

   "Sudah 2 putarannya, Mas?" tanya Geladis setibanya di dekat Ryan.

   "Alhamdulillah, sudah," sahut Ryan sembari menyeka peluh di dahinya. Meskipun kaus lelaki itu tercetak basah oleh keringat, namun tidak ada napas terengah-engah selayaknya orang sehabis lari keliling perumahan 2 kali.

   "Biar saya yang dorong." Lelaki itu mengusulkan seraya ingin menggeser posisi Geladis yang berada di belakang kereta dorong bayi.

   Tak berniat menolak sehingga Geladis membiarkan suaminya itu mengambil alih pekerjaannya. Sebagai apresiasi, ia menepuk bahu lelaki itu kemudian berkata, "Terima kasih, suamiku."

   Keduanya melanjutkan sisa perjalanan menuju rumah sambil sesekali menyapa tetangga juga pedagang yang mereka lewati. Meski sudah satu tahun lebih berlalu, masih saja terdengar suara-suara miring terhadap Geladis. Tak lain yang mereka bicarakan selalu tentang Geladis yang mendesak keluarga Ryan untuk menikahinya dengan anak yang dikandungnya. Meski bukan satu atau dua kali, Geladis tetap merasa tidak nyaman.

   Ryan selalu menjadi seseorang yang peka terhadap sekitar, termasuk ketika ia turut mendengar omongan orang-orang itu ia tahu ada hati yang tersakiti dengannya. Diliriknya perempuan di sisinya itu yang tampak wajahnya datar-datar saja. Berapa topeng yang ingin ia pakai, Ryan membatin turut merasa nestapa.

   "Kita tidak bisa lepas dari omongan orang lain mau sebaik apapun kita. Tidak apa-apa, kita doakan saja ya, Sayang?" tutur Ryan menguatkan Geladis sembari menggenggam tangannya.

   Geladis menengadahkan kepalanya lantas mengangguk bersama senyuman yang tampak dipaksakan. Ryan tidak marah melihatnya. Sudah kodratnya perempuan hatinya mudah terluka dan susah sembuhnya. Ibarat gelas kaca, jika sudah retak apalagi sampai pecah, ingin direkatkan dengan lem paling kuat sedunia pun tak akan sampai kembali seperti semula.

   "Besok-besok, kita lewat jalan lain, jalan yang sepi." Ryan menunjuk ke arah jalan yang dimaksudnya. Tak lain dan tak bukan ini usahanya untuk menjaga perasaan Geladis. Daripada menasehati orang yang tak bisa diberi nasehat, lebih baik menjauhi mereka.

   Geladis terdiam, bimbang antara setuju atau tidak dengan usul Ryan.

   "Bagaimana?" tanya Ryan dengan memelankan suaranya setelah tidak mendengar jawaban Geladis.

   "Di sana juga ada penjual manisan mangga, kesukaanmu, bukan?" bujuk rayu Ryan agar istrinya setuju.

   Mendengar hal itu, manisan mangga, makanan kesukaannya terbitlah senyuman yang benar-benar tulus dari Geladis. Dengan mata berbinar-binar, Geladis mengangguk.

Untuk Tuan RyanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang